Avesiar.com
Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam mendapat gelar Al Amin dari penduduk Makkah karena terkenal sebagai seorang laki-laki yang penuh amanah, jujur, dan dapat dipercaya.
Gelar Al Amin yang sesuai faktanya yaitu amanah dan jujur tersebut menarik hati seorang wanita bernama Khadijah yang kemudian berharap dapat menikahinya. Ia melihat dengan mata kepala sendiri saat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dipekerjakan di usaha dagang yang digelutinya.
Amanah atau dapat dipercaya menjadi salah satu karakter unggulan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sebagaimana dicontohkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang memiliki sifat terpuji itu.
Amanah yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dilaksanakan dengan baik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan seluruh umat. Hal ini yang akhirnya membuat sosok Rasulullah mendapat gelar Al Amin, atau orang yang dapat dipercaya. Tidak hanya dipercaya oleh kaum Muslimin, melainkan juga meliputi orang-orang kafir.
Di zamannya, kisah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang begitu amanah tergambar dalam suatu peristiwa di mana beliau dipercayai sebagai orang yang mampu menjaga barang titipan atau harta berharga bagi siapa pun yang menitipkan kepadanya, termasuk orang-orang kafir, yang diketahui begitu membencinya.
“Orang-orang kafir di Makkah menentang Rasulullah, mengingkari beliau, hingga sepakat untuk membunuh beliau. Namun ketika mereka memiliki harta berharga, mereka tidak mendapatkan tempat yang mereka percaya untuk menitipkan harta mereka sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Mereka percayai Rasulullah dalam menjaga harta berharga milik mereka, dan tidak dikhianati oleh Rasulullah,” ungkap Habib Ahmad bin Novel dalam ceramahnya, dikutip dari kanal Youtube Muezza, dilansir okezone.
Sejatinya, jika seseorang ingin menitipkan suatu hal berharga seperti harta, tentu akan memberikannya kepada orang-orang terdekat, bukan orang yang dibencinya atau yang dianggap musuh. Hal ini juga dibarengi dengan sikap yang lebih baik dan santun agar orang yang diberi amanah dalam menjaga harta tersebut tak berniat buruk seperti membawa kabur harta atau menyembunyikannya.
“Tapi lihat, mereka titipkan harta berharga mereka ke Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan di saat bersamaan dengan nyaman mereka mengganggu, menganiaya, hingga sepakat membunuh Rasulullah. Tidakkah mereka takut harta mereka dibawa pergi Rasulullah? Jawabannya tidak. Karena mereka sadar betul, sekalipun mereka mengganggu Rasulullah, beliau tak akan mengkhianati mereka,” tambahnya.
Sifat terpuji Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut juga mampu menciptakan rasa adil kepada kaum Quraisy dalam menentukan perkara umum.
Menurut Fir’adi Nasruddin Abu Ja’far, dikutip dari Republika, dalam buku Sirah Nabawiyah, tentang kisah Ka’bah yang direnovasi dan bagaimana Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam saat itu mengambil keputusan.
Lima tahun sebelum beliau Shallallahu Alaihi Wasallam diangkat menjadi nabi, banjir besar melanda kota Makkah. Air menggenang dan menghantam ka’bah hingga nyaris roboh dan rusak.
Maka, orang-orang Quraisy sepakat untuk merenovasi bangunannya sebagai bukti perhatian mereka yang teramat besar terhadap kedudukan Ka’bah yang sangat mulia.
Mereka sepakat tidak memasukkan bahan-bahan bangunannya kecuali yang baik-baik. Mereka tidak menerima suplai dana dari maskawin wanita pelacur, jual beli dengan sistem riba, atau dari bentuk penganiayaan terhadap orang lain.
Mereka membagi sudut-sudut Ka’bah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagiannya masing-masing. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu pilihan di sebuah tempat, lalu mereka pun mulai merenovasi bangunan Ka’bah.
Renovasi Ka’bah ini ditangani dan dipandu seorang arsitek Romawi yang bernama Baqum. Ketika pembangunan Ka’bah telah sampai di bagian Hajar Aswad, mereka berselisih pendapat tentang siapakah yang berhak mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad di tempatnya semula.
Perselisihan itu terus berlanjut hingga sampai empat atau lima malam. Bahkan perselisihan itu semakin menajam dan meruncing, hingga nyaris menimbulkan pertumpahan darah di tanah Haram.
Abu Umayah bin al-Mughirah al-Makhzumy tampil dan menawarkan jalan keluar cemerlang yang mampu menengahi pertikaian di antara mereka. Yaitu dengan cara menyerahkan urusan ini kepada siapapun yang pertama kali masuk lewat pintu Masjid, dan mereka semua menerima cara ini.
Ternyata Allah Subhanahu Wa Ta’ala takdirkan bahwa orang yang pertama kali memasuki pintu Masjid adalah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Tatkala mereka mengetahui hal ini, maka di antara mereka saling membisikan kata: “Dia al-Amin (yang dapat dipercaya), kami ridha terhadapnya.”
Setelah beliau memahami persoalan yang terjadi, maka beliau meminta sehelai kain, lalu beliau meletakkan Hajar Aswad di tengah-tengah kain tersebut. Kemudian beliau Shallallahu Alaihi Wasallam meminta kepada setiap pemimpin kabilah untuk memegang ujung-ujung kain tersebut.
Lalu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan mereka untuk mengangkatnya secara bersama-sama. Setelah mendekati tempatnya, beliau mengambil batu itu dan meletakkannya di tempat semula. Inilah cara pemecahan masalah yang sangat jitu dan diridhai semua orang.
Itulah tinggi dan mulianya sifat Al Amin yang dimiliki Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Semoga kita bisa meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari. Wallahua’lam. (ave)
Discussion about this post