Avesiar.com
Mengubah Pandanganku Terhadap Ibuku
Karya: Aqsha Rizad Ibrahim (Siswa kelas XI Mia 1, Medan, Sumatera Utara)
Bagaimana bisa aku merasa kalau aku mendengar suara Aleesha, mendatangi kamarnya, menemuinya ketika ia terbangun karena mimpi buruk, sedikit berbicara dengannya, dan mengusap kepalanya. Apa yang sebenarnya aku lakukan ketika aku terbangun malam itu? Bahkan Aleesha juga mengetahui aku sempat terbangun dan terdengar gaduh di kamarku.
“Hei, kenapa kau ini? Aku bertanya kenapa diam saja?” tanyanya.
“Emm, euh, ti…dak. Aku hanya terbangun karena mimpi buruk, ditambah lagi teriakan itu. Aku sedikit panik saat itu, konyol bukan?” aku berusaha mencari topik pembicaraan lain.
“Ahahahah ternyata abang penakut juga ya.”
“Hei, siapa yang tidak panik ketika di saat seperti itu? Kau hanya beruntung karena tidak mendapat mimpi buruk.”
“Sama saja. Apapun alasannya, abang penakut, weeeekk.” ejeknya.
“Hei awas saja. Biasanya yang begitu bakal kejadian balik sama yang ngejek.”
“Biar saja. Yang penakut kan abang, bukan aku. Hahahaahhaahah.”
“Awas saja ya Aleesha.”
Aku menyadari bahwa kentang yang kubutuhkan tinggal sedikit. Aku sudah membelinya tapi sepertinya masih tergeletak di meja kamarku. Aku pun mengambil kentang itu ke kamarku.
“
Sebentar ya, aku mau ambil kentang. Ini masih kurang. Aku pergi sebentar. Hati-hati dengan pisaumu itu.”
“Ayolah, aku tidak penakut sepertimu. Dan aku sudah besar, aku tahu cara menggunakan pisau.”
“Aku hanya mengingatkan, kenapa tidak terima saja sih saat diingatkan.”
Aku pun mengambil kentang ke kamarku, mengecek hp-ku kalau-kalau ada notifikasi penting, kemudian kembali ke dapur. Ketika aku berjalan di lorong, tiba-tiba kepalaku terasa sangat pusing. Aku mulai berpikir kalau ini adalah efek tidurku yang terlalu sore tadi. Namun, detik berikutnya aku didorong oleh sesuatu yang entah darimana. Pandanganku gelap seketika. Aku terus berusaha untuk berdiri dan kembali berjalan menuju dapur.
“Aeden.. Kau masih ingat denganku? Hahahaahahahahahah.” terdengar suara amat berat yang tentu saja aku tahu itu berasal dari siapa.
“Hahaha, tenang saja. Aku tidak akan mengganggumu kali ini.” Sambungnya.
Sontak, akupun berlari ke dapur – dengan rasa pusing yang masih menyelimuti kepalaku – dan menemukan Aleesha berdiri dengan pisau bekas memotong kofte di tangan kanannya, sedang menatap kerahku dengan sangat tajam, tanpa berkata sedikitpun. Aleesha kemudian berbicara, namun bukan dengan suaranya.
“Aeden, kau harus menerima kenyataannya aeden. Segala sesuatu yang kau perbuat pasti akan ada ganjarannya.”
“Hei, keluarlah dari Aleesha! Dia tidak bersalah.” Bentakku.
Aleesha – atas kendali makhluk itu – perlahan mengangkat pisaunya dan mengarahkannya ke lehernya sendiri. Melihat itu, aku pun berlari sekaligus melompat ke arahnya, memukul tangannya untuk menjauhkan pisau itu, kemudian sembari mendekap erat Aleesha tepat ketika aku jatuh.
“Aleesha, sadarlah!”
Ia kemudian memberontak, mendorongku balik, dan cepat mengambil kembali pisau tadi serta langsung mengarahkannya ke pergelangan tangan kirinya. Aku kemudian melompat lagi ke arahnya lalu memegangi tangannya dengan sangat-sangat erat, menahannya agar dia tidak melakukan itu.
“Aleesha.., SADARLAH!”
Tenaganya mendadak menjadi sangat kuat sehingga sangat sulit bagiku untuk terus menahannya.
“Hei, Hentikan semuanya. Dia tidak bersalah dalam hal ini!” ucapku pada makhluk itu.
“Tapi kau harus menerimanya, Aeden. Lihatlah, ini semua adalah kesalahanmu.”
“Kenapa kau tidak menjelaskan padaku terlebih dulu? Kenapa kau langsung melakukan ini hah?!”
“Kau sangat membenci Ibumu. Itu yang kau rasakan bukan? Jujur saja! Kau sungguh sangat membencinya sampai kau tidak lagi mau mengingat tentangnya. Mungkin itu bukan masalah yang begitu besar, tapi lihatlah! Bagaimana kau begitu menyayangi Aleesha. Kau menyayangi Aleesha sementara kau membenci Ibumu, yang juga merupakan Ibu dari Alessha, ironi bukan? Kalau kau begitu membenci Ibumu dan kau menghapus semua memori tentangnya, maka Aleesha juga tidak akan pernah bisa ada dalam kehidupanmu. Kau tidak bisa begitu Aeden! Rasa bersalahmu akan ketakutanmu terkait gagalnya menjaga Aleesha hanya akan memperburuk posisimu. Kau tidak boleh begitu Aeden!”
Aku terdiam seketika. Semua yang dia katakan benar dan nyata adanya. Aku juga berpikir bahwa aku sejahat itu. Aleesha bisa saja terbunuh karena kesalahanku yang terbentuk dari masa lalu. Aku juga berpikir bahwa aku sangat jahat.
Aku begitu membenci Ibu sampai aku melupakan semua tentangnya, bahkan hal baik darinya. Bagaimanapun dia adalah Ibuku, orang yang melahirkanku dan juga Aleesha. Aku tidak bisa menahan tangisku.
“Ya aku akui, aku bersalah. Tapi aku mohon jangan lukai Aleesha. Kalau kau benar-benar mau melakukannya, lakukan saja kepadaku. Aku mohon,” ucapku.
“Hahahaha, dramatis sekali. Tapi sayangnya kau melakukan kesalahan terbesar dalam hidupmu. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu, Aeden. Kau…”
Belum selesai ia berbicara, aku mengambil sedikit kesempatan untuk mencoba menyadarkan Aleesha.
“Bismillahi Allahu Akbar! ALEESHA, SADARLAH!!!” teriakku.
Syukur, Aleesha pun akhirnya tersadar walaupun ia langsung pingsan di pangkuanku. Makhluk itu melompat dan terbang ke dinding dapur. Dia terlihat sangat marah.
“Kau beruntung kali ini, karena berhasil mendapatkan kesadarannya. Namun, selama kau masih terus melakukan kesalahanmu, aku bisa kembali sewaktu-waktu, dan bukan tidak mungkin aku bisa menjadi lebih kuat,” ujarnya.
Aku mulai menyadari bahwa aku tidak bisa membenci Ibuku sampai sebegitunya. Aku harus mengubah pandanganku terhadap Ibuku dan terhadap diriku sendiri. Tidak baik juga terus-menerus menyalahkan diri sendiri, karena hal itu hanya akan berujung sia-sia.
Kesalahan yang telah kuperbuat, aku juga harus menanggung konsekuensinya, sekalipun yang harus mengalaminya adalah orang yang paling kusayang. Aku salah, aku terlalu egois selama ini. Setelah semua ini aku harus merubah semuanya agar aku tidak kehilangan orang yang paling kusayang saat ini, Aleesha.
“Ingat Aeden, kau belum sepenuhnya merubah pandanganmu. Belum sepenuhnya.”
-TAMAT-
Discussion about this post