Avesiar – Jakarta
Feri kecil ketika itu memang tidak begitu paham usaha yang dilakukan oleh sang ayah untuk menghidupi ia dan keluarganya. Maklum, sebagai anak kecil, Feri tumbuh sebagaimana anak-anak lainnya. Bermain dan belajar.
Namun, ketika ia semakin besar, Feri memahami usaha yang dijalani oleh ayahnya, sebuah bisnis jasa pengiriman barang. Di mana kelak, pemilik nama lengkap Mohammad Feriadi, meneruskan jejak dan tradisi ayahnya yang bernama Soeprapto Soeparno, sebagai seorang pemilik dan Chief Executive Officer PT. Jalur Nugraha Ekakurir atau dikenal sebagai JNE.
Saat ditemui di kantornya di bilangan Tomang, Jakarta Barat, baru-baru ini, pria yang akrab di sapa Feri itu menceritakan betapa ia sangat beruntung dibesarkan dengan nilai-nilai sosial dan religi oleh orang tuanya.
Pria santun itu, adalah seorang kelahiran Jakarta, 3 Februari 1969, yang sejak kecil mengalami kehidupan kota besar dengan tetap mengedepankan nilai-nilai moral yang diajarkan oleh kedua orang tua, terutama almarhum ayahnya yang ia kagumi.
Ia menceritakan, sejak kecil orang tua mereka senantiasa mengutamakan pendidikan agama serta moral dengan menyekolahkan dia dan saudara-saudaranya di sekolah Al Azhar yang terletak di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Hal ini yang menurut Feri membuat ia dan saudara-saudaranya tidak mudah terpengaruh hal-hal buruk di masyarakat.
“Jakarta adalah kota tempat saya dibesarkan dengan baik oleh kedua orang tua saya dan memberikan pengalaman hidup yang begitu berarti. Ya, sebagai anak yang lahir di Jakarta, saya mengalami betapa kota ini tumbuh dengan berbagai dinamikanya. Kami main bersama teman-teman dan besar tanpa terpengaruh hal-hal negatif yang ada di ibukota seperti Jakarta,” kenang putra ke-2 dari 6 bersaudara itu.
Meskipun lahir dari keluarga pebisnis, pehobi renang itu mengakui ia tidak langsung dikenalkan tentang bisnis oleh almarhum ayahnya, sang pendiri TIKI dan JNE. Feri melewati masa kanak-kanaknya hingga Sekolah Menengah Atas yang berkesan di Jakarta.
“Almarhum ayah saya tidak mengenalkan bisnisnya secara langsung kepada kami. Beliau sama seperti orang tua lainnya, memberikan kesempatan anak-anaknya menikmati masa kanak-kanak. Saya punya kesenangan masa kecil bermain sepeda BMX, kadang main mobil RC (radio control) di Senayan, dan lainnya. Saya dan saudara-saudara saya benar-benar menikmati masa kecil kami sewajarnya seperti anak-anak lain,” kenang Feri.
Menurut penyuka Moge Harley Davidson itu, ketika kecil ia bukan termasuk anak yang menonjol di sekolah. Nilai rapor yang diraihnya masuk kategori rata-rata kelas. Sekali lagi, ia merasa sangat bersyukur.
Secara umum, banyak orang beranggapan, bahwa anak-anak yang lahir dari keluarga yang mapan secara finansial, selalu terpenuhi keinginannya atau jauh dari kekurangan. Persepsi ini, bagi Feri adalah hal yang biasa. Namun, orang tua mereka, terutama almarhum ayahnya, selalu memberikan teladan dalam kehidupan dan menghargai orang lain, meskipun memiliki kecukupan.
Pendidikan sang ayah yang peduli pada sisi religi, menurut pria yang menjadi Presiden Direktur JNE sejak 2015 itu, diimbangi dengan sisi etika dan sopan santun. Baik terhadap keluarga, maupun orang lain. Bahkan, pernah ada sebuah peristiwa yang membuat ayahnya marah kepada anak-anaknya.
Saat itu, pernah salah satu dari mereka meminta agar pembantu rumah tangga di rumah untuk mengambilkan sepatu dan sempat memarahinya. Mengetahui hal tersebut, almarhum ayahnya mereka, Soeprapto Soeparnomarah, lanjut Feri, menjadi marah.
“Beliau bilang, ‘Saya menggaji mereka (pembantu rumah tangga, red) untuk bekerja pada saya, bukan pada kalian. Jadi, jangan sekali-kali kalian menyuruh suatu pekerjaan dan memarahi mereka. Saya yang berhak menyuruh mereka’. Begitu kata Bapak,” beber Feri tentang kearifan sang Ayah.
Yang paling bernilai dari almarhum ayahnya adalah bagaimana memperlakukan orang lain dengan sangat baik. Tidak peduli anak-anak atau dewasa, almarhum Soeprapto Suparno memperlakukan mereka dengan sangat dermawan. Setiap anak-anak datang ke rumahnya, sang ayah pasti akan memberikan uang untuk mereka.
“Teman-teman saya paling suka kalau datang ke rumah. Pasti akan dikasih uang oleh ayah saya. Mereka bilang, ‘Enak kalau ke rumah Feri. Dikasih uang sama ayahnya’,” kata penyuka Rawon itu mengenang diiringi senyum.
Masih soal kedermawanan, almarhum ayahnya terkenal sangat dermawan di hadapan banyak orang. Sampai-sampai, Feri yang sesekali diminta oleh sang ayah untuk mengantarkannya dengan menyetir mobil pergi ke beberapa tempat, tidak memperbolehkan Feri mengeluarkan uang. Almarhum selalu merogoh koceknya untuk membayar apapun, meskipun Feri sering berupaya untuk mengeluarkan uangnya.
“Pernah suatu ketika, saya hendak mengeluarkan uang untuk diberikan kepada orang di jalan. Saya saat itu sibuk mengeluarkan uang dari kantong celana dan memilih pecahan uang tertentu. Ayah saya bilang begini, ‘Fer, kalau mau ngasih orang, langsung aja tarik uang di kantong kita. Kalau perlu uang yang paling besar nominalnya’. Begitu kata beliau. Sampai hari ini, apa yang beliau ajarkan membekas di diri saya,” kenang lulusan Ilmu Administrasi di Universitas Krisnadwipayana Jakarta tahun 1993, berkaca-kaca, haru mengenang sikap dermawan almarhum ayahnya.
Feri mengakui bahwa dia dan saudara-saudara-saudaranya tumbuh dengan semangat berbagi yang dikenalkan ayah mereka kepada banyak orang. Kepada anak-anak yatim, almarhum ayah mereka sangat perhatian. Almarhum Soeprapto Suparno senantiasa berusaha memperhatikan kebutuhan anak-anak yatim di sekitarnya.
Tradisi tersebut yang diwariskan oleh sang ayah kepada Feri dan saudara-saudaranya. Memelihara dan menyantuni anak-anak yatim. Perusahaan yang dia pimpin, hingga hari ini menjalankan tradisi tersebut. Bagi jebolan Master Business Administration (MBA) Okhlahoma University di Amerika Serikat (AS) tahun 1995 itu, warisan yang paling bernilai dari ayah mereka adalah tradisi menyantuni dan memelihara anak-anak yatim tersebut. Menurut Feri, tidak boleh jauh dari Tuhan dan menyantuni anak-anak yatim,
Apa yang diajarkan orang tuanya, juga diajarkan Feri kepada anak-anaknya. Meskipun Feri mengakui bahwa anak-anak sekarang pasti berbeda karakternya dengan anak-anak di zamannya. Namun, Feri tetap mengingatkan anak-anaknya untuk tidak boleh lupa shalat dan selalu jujur.
Caranya, terang pria yang memulai karier di JNE pada 1996 sebagai seorang kurir hingga customer service itu, tentu menyesuaikan dengan karakter anak zaman sekarang. Feri merasa tidak ada kesulitan mengajarkan anak-anaknya tentang hal itu.
Kesibukannya yang sangat padat sebagai seorang pemimpin perusahaan tidak membuatnya lalai untuk tetap memperhatikan keluarga. Ada waktu-waktu yang sudah dia dan keluarganya sepakati untuk dihabiskan bersama dan tetap berkomunikasi dengan baik antara dia, istri, dan anak-anak.
“Di kantor pun, saya selalu mengingatkan para karyawan muda untuk berusaha sebaik mungkin dalam bekerja. Kami senantiasa memberikan apresiasi pada karyawan-karyawan berprestasi dan karyawan setia,” bebernya.
Bentuknya, kata Feri, bisa bermacam-macam. Perjalanan ibadah misalnya. Baik yang beragama Islam maupun non-muslim, mereka yang memenuhi kriteria yang ditetapkan perusahaan, selalu mendapat giliran berangkat beribadah ke tempat-tempat ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Demikian pula dengan karir. Jabatan tinggi, ujarnya, juga diberikan sesuai dengan penilaian yang fair, pada karyawan yang beragama apapun.
Dalam hidup, pria yang kini juga menjabat sebagai Ketua Umum Asperindo (Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia) itu menekankan kepada dirinya, keluarga, dan karyawan JNE, bahwa mereka harus bisa memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain. (Ave Rosa A. Djalil)
Discussion about this post