Avesiar – Jakarta
Tahun baru Islam yang dimulai pada 1 Muharram memiliki sejarah tersendiri dalam penentuan tanggal, bulan, dan tahunnya. Sebagai seorang Muslim, mengetahui awal mula dari penetapannya tentu menjadi hal yang penting.
Muharram, sebagaimana dikutip dari laman Majelis Ulama Indonesia, Selasa (18/7/2023), merupakan bulan pembuka dalam penanggalan tahun Islam (Hijriyyah). Sejarah 1 Muharram adalah tanda peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 masehi.
Lafaz Muharram memiliki arti ‘dilarang’. Maksudnya adalah sebelum ajaran Islam datang, bulan Muharram telah dikenal sebagai bulan yang dimuliakan oleh masyarakat Arab Jahiliyah.
Tentang Tahun Hijriyah dan Asal Bulan Muharram
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul-Baari menjelaskan asal muasal lahirnya penanggalan hijriyah.
Adanya kalender Islam diawali dengan sejarah ketika Gubernur Abu Musa Al-Asyari mengirimkan surat kepada Khalifah Umar Bin Khatab pada tahun 17 Hijriyah yang mengungkapkan kebingungannya perihal surat yang tidak memiliki tahun.
Ketika itu, umat Islam masih mengadopsi peradaban Arab pra-Islam dalam menggunakan penanggalan yaitu menuliskan sebatas bulan dan tanggal tanpa tahun di dalamnya.
Hal tersebut, dikutip dari laman MUI, menyulitkan sang Gubernur saat melakukan pengarsipan dokumen. Melalui keresahan tersebut, muncullah gagasan awal untuk menetapkan kalender Islam.
Menindaklanjuti surat dari Abu Musa al-Asy’ari, Khalifah Umar yang memanggil Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf RA, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam RA, Sa’ad bin Waqqas, serta Thalhan bin Ubaidillah sebagai tim yang bertugas penyusunan kalender Islam.
Setelah tim disepakati, mulailah pembahasan mengenai penentuan tahun pertama. Sebagian ada yang mengusulkan dimulai di tahun Gajah, yaitu waktu kelahiran Nabi. Ada pula yang mengusulkan di tahun wafatnya Nabi. Ada juga yang mengusulkan di tahun pengangkatan menjadi Rasul, hingga opsi di tahun hijrahnya Rasulullah ke Madinah.
Usulan keempat yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib lah yang disepakati sebagai awal tahun Islam yaitu ditandai dengan peristiwa hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah. Pendapat tersebut, dianggap sebagai peristiwa besar bagi Islam yang mana hijrah merupakan simbol perpindahan masa jahiliyah ke masyarakat madani.
Keputusan awal tahun telah disepakati, pembahasan selanjutnya adalah bulan pertama yang mengawali tahun Islam.
Usulan bulan Rabi’ al-Awwal diajukan sebagai awal bulan untuk memulai tahun. Hal ini dikarenakan Rasulullah hijrah lada bulan tersebut.
Akan tetapi, usulan ini ditolak. Khalifah Umar justru memilih bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam susunan tahun Hijriyah. Pendapat ini didukung pula oleh Utsman bin Affan.
Alasan lain pemilihan bulan Muharram adalah meskipun hijrah dilakukan di bulan Rabi’ al-Awwal, akan tetapi permulaan Hijrah dimulai sejak bulan Muharram.
Khalifah Umar mengatakan, wacana hijrah dimulai setelah beberapa sahabat membaiat Nabi, yang dilaksanakan pada penghujung bulan Dzulhijjah. Adapun bulan yang muncul setelah Dzulhijjah yaitu bulan Muharram.
Oleh sebab itu, Muharram dipilih serta disepakati menjadi bulan pembuka dalam tahun Hijriyah.
Sedangkan dikutip dari laman Nadhlatul Ulama, Selasa (18/7/2023), tertulis bahwa Abu Nuaim dan Al-Hakim menceritakan bahwa suatu hari Abu Musa Al-Asy’ari menulis sepucuk surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. “Sungguh, surat-surat darimu telah kami terima tanpa catatan tanggal, bulan, dan tahun.”
Umar bin Khattab ra kemudian mengundang para sahabat terkemuka untuk memusyawarahkan masalah ini. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Kairo, Darul Hadits: 2004 M/1424 H]).
“Hari apa yang kita dapat jadikan patokan dalam menulis penanggalan?” kata Sayyidina Umar membuka musyawarah.
“Tulislah penanggalan berdasarkan pengangkatan kenabian-kerasulan Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wasallam,” usul sebagian sahabat.
“Berdasarkan hijrah saja,” kata sahabat lain yang hadir.
“Hijrah memisahkan yang hak dan batil. Jadikan ia sebagai pedoman tahun penanggalan,” kata Umar bin Khattab ra.
“Mulai dari bulan Ramadhan,” usul salah seorang sahabat ketika pembahasan beralih ke penetuan bulan pertama.
“Tidak, mulailah dari bulan Muharram karena ia waktu orang bergegas meninggalkan rangkaian Haji,” tegas Umar bin Khattab ra.
Putusan Muharram sebagai bulan pertama dan peristiwa hijrah sebagai tahun pertama dalam penulisan kalender hijriah disepakati oleh anggota musyawarah.
Musyawarah penentuan tahun baru Islam (kalender hijriah) ini terjadi tahun 17 H, yaitu tahun keempat kepemimpinan Amirul Mukminin Umar bin Khattab. (Al-Asqalani, 2004 M/1424 H: VII/308).
Menurut riwayat Al-Hakim, Sayyidina Umar mengumpulkan para sahabat untuk mendiskusikan penanggalan surat. “Hari apa yang kita dapat jadikan patokan kita dalam menulis penanggalan?” kata Sayyidina Umar ra membuka musyawarah.
“Sejak hari pertama Rasulullah berhijrah, meninggalkan tanah kemusyrikan (kota Makkah),” usul Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.
Pendapat ini diterima dan dijalankan oleh Umar bin Khattab ra.
Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan melalui Ibnu Sirin. Suatu hari seorang dari Yaman datang. “Aku menemukan di Yaman sesuatu yang mereka sebut sebagai sejarah (penanggalan/kalender) di mana mereka mencatat bulan sekian dan tahun sekian,” kata orang tersebut .
“Bagus itu. Mari kita tentukan penanggalan,” sambut Umar bin Khattab ra.
Ia kemudian mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah perihal penanggalan. Sekelompok sahabat mengusulkan penanggalan dimulai dari waktu kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Sekelompok lainnya mengusulkan hari pengutusan kenabian-kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Sekelompok sahabat yang hadir mengusulkan waktu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam keluar Makkah untuk berhijrah. Sedangkan sekelompok sahabat yang lain mengitungnya dari waktu wafat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
“Tulislah tanggal sejak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam keluar dari Makkah menuju Madinah,” kata Umar ra.
Sejumlah sahabat menyebut bulan Rajab. Sekelompok sahabat lainnya mengusulkan Ramadhan. Sahabat Utsman mengusulkan berbeda.
Sahabat Utsman bin Affan ra mengatakan, “Tulislah sejak Muharram, karena ia bulan haram. Ia menjadi bulan awal tahun dan waktu jemaah Haji bergegas meninggalkan kota Makkah.”
Musyawarah penanggalan tahun baru Islam atau kalender hijriah terjadi pada bulan Rabiul Awwal 17 H (sebagian orang menyebut 16 H).
Kita, kata Al-Asqalani, dapat menyimpulkan dari berbagai riwayat bahwa penunjukkan Muharram merupakan peran penting sahabat Umar ra, Utsman ra, dan Ali bin Abu Thalib ra. (Al-Asqalani, 2004 M/1424 H: VII/308).
Ahmad, Abu Urubah, Al-Bukhari, dan Al-Hakim dari Maimun bin Mahran meriwayatkan awal mula ide penetapan tahun baru Islam atau kalender hijriah. Semua bermula dari sebuah dokumen tertanggal bulan Sya’ban sebagai awal tahun yang diserahkan kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra.
“Apa ini Sya’ban? Itu bulan sudah berlalu, bulan kita sekarang, atau bulan yang akan datang?” kata Umar protes terkait penanggalan pada dokumen yang sedang dihadapinya.
“Tetapkanlah penanggalan dengan sesuatu yang sudah dikenal masyarakat,” kata Umar. Riwayat hadits ini kemudian berlanjut sebagaimana riwayat di atas.
Sebagian riwayat menyebut Ya’la bin Umayyah sebagai orang pertama yang menetapkan penanggalan tahun baru Islam (kalender hijriah) ketika berada di Yaman sebagaimana riwayat Ahmad. Sanad riwayat ini shahih. Tetapi ada sanad terputus antara Amr bin Dinar dan Ya’la.
Muharram dan Keutamaan-keutamaan di Dalamnya
Usai mengetahui asal muasal penanggalan hijriyah serta dipilihnya Muharram sebagai awal bulan tahun Islam, sebagaimana dikutip dari laman MUI, terdapat beberapa kemuliaan dalam bulan Muharram, di antaranya:
Pertama, Muharram sebagai salah satu bulan haram (mulia).
Muharram adalah bulan yang dimuliakan bahkan sebelum datangnya Islam. Pada bulan ini terdapat dilarang untuk melakukan perbuatan dzalim baik untuk diri sendiri maupun orang lain, seperti peperangan.
Dilarangnya tumpah darah pada bulan ini merupakan hukum adat masyarakat Arab Jahiliyah yang tak tertulis serta berlaku sejak lama.
Penjelasan mengenai Muharram sebagai bulan mulia tersirat dalam firman Allah surah at-Taubah: 36.
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram…..”
Adapun empat bulan haram (mulia) sebagaimana yang dijelaskan oleh at-Thabari dalam tafsirnya yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Kedua, Muharram merupakan bulan Allah (syahrullah)
Mengutip perkataan dari al-Zamakhsyari yang dinukil dari kitab Faidh al-Qadir karya Abd al-Ra’uf al-Munawi, yang mengatakan ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Ahlullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy.”
Adanya penyandaran khusus terhadap bulan Muharram menunjukkan keutamaan bulan tersebut yang tidak kita temui pada bulan selainnya.
Ketiga, adanya anjuran puasa Tasu’a dan ‘Asyura di bulan Muharram.
Salah satu keutamaan bulan Muharram adalah adanya anjuran untuk puasa Tasu’a dan ‘Asyura. Sebagaimana yang dikutip dalam hadis riwayat Imam Muslim:
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Allah, Muharram.” (HR. Muslim)
Adapun anjuran berpuasa dua hari dalam bulan Muharram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas ra.
“Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan menyuruh para Sahabatnya juga berpuasa, maka mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah SAW, hari Asyura itu hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Maka Rasulullah SAW bersabda: ‘Kalau demikian, Insya Allah tahun depan kita berpuasa pada hari yang kesembilan.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Wallahu a’lam. (adm)
Discussion about this post