Avesiar – Jakarta
Penampilannya nyaris tak berubah sejak kurang lebih sepuluh tahun berselang saat saling bertatap muka dan berbincang. Cara berpakaiannya sederhana, jauh dari kesan mewah yang biasanya ingin disematkan pada pribadi sebagian orang selevel dengan dirinya, bahkan ponselnya pun tidak semewah yang dibayangkan untuk pribadi sekelas dia.
Bertemu dengan pria humble dan tanpa banyak ekspresi di ruangan kerjanya di salah satu universitas swasta terkemuka Indonesia tersebut, menjadi sebuah momen untuk mengetahui sedikit tentang perjalanan hidupnya. Bagian dari dirinya yang dahulu belum sempat ditanyakan wartawan media ini Ave Rosa A. Djalil di saat saling bekerja sama ketika masih berkarya di media cetak terbesar Indonesia kala itu.
Kini ia menyandang predikat Guru Besar di Universitas Pancasila, tepatnya di fakultas Ekonomi, kampus yang terletak di Jakarta Selatan. Arissetyanto Nugroho, atau kini lengkapnya dengan berbagai titel yang disandang, Prof. Dr. Ir. Arissetyanto Nugroho MM, IPU, CMA, MSS, masih seperti dulu dengan gaya bicara santai dan volume suaranya yang moderate (lunak, sedang).
“Silahkan duduk, Mas Ave. Sebentar saya ada yang mau disampaikan ke ruang sebelah,” ujarnya. Tak lama, ia kembali dan duduk di sofa seberang dari wartawan Avesiar.com ini. “Silahkan diminum, Mas. Ini cobain juga. Maaf, saya pas puasa,” ucapnya mempersilahkan minum air kemasan botol dan jajanan oleh-oleh dari Jogja yang tersedia di atas meja tamu tempat kami bertemu.
Prof Aris, begitu biasa dia dipanggil, dalam wawancara khusus, menceritakan sebagian dari awal perjalanan karirnya dan cintanya sejak lulus kuliah. Pria kelahiran Singapura, 24 Februari 1969, itu adalah sarjana lulusan Teknik Mesin, Universitas Indonesia pada 1992.
“Saat itu saya memilih konsentrasi Teknik Industri. Karena saat itu di UI. Waktu departemen Teknik Mesin itu berdiri, di tempat saya kuliah ada 4 konsentrasi. Industri, Konstruksi, Konversi, dan Perkapalan. Sekarang yang Industri dan Perkapalan berdiri sendiri,” ungkapnya.
Uniknya, menurut Prof Aris, ia setelah lulus malah diakui sebagai alumnus dari 2 jurusan yang ada di fakultas Teknik Universitas Indonesia. “Jadi kalau saya di UI itu saya diakui sebagai alumnus teknik mesin dan alumnus teknik industri,” beber ayah 2 putra yang menjadi Guru Besar sejak Februari 2021 itu.
Secara formal, lanjutnya, ijazahnya teknik mesin, secara substansi ia teknik industri. Karena di zaman kuliah saat itu, ada istilah A1, A2, dan A3. A1 itu IPA, A2 itu Biologi, A3 itu IPS. “Nah, saya itu ibaratnya teknik mesin yang IPS atau teknik yang A3,” ujarnya kemudian tertawa.
Mengenai pilihan karir, Prof Aris mengaku sejak dahulu bercita-cita menjadi guru. Kata Aris, orang tuanya paham bahwa interest Aris tinggi pada hal-hal yang bersifat kuantitatif seperti matematika. “Cita-cita saya ingin jadi guru matematika atau mathematician, termasuk IPA. Otak kiri saya kuat. Saya kalau belum ketemu logika di balik sesuatu, saya belum mau kerjakan,” kenang peraih sertifikasi internasional dari Federation of Engineering Organizations (CAFEO) pada 2018 itu.
Dia mengilustrasikan, misalnya jika ada operasi bilangan yang tidak konsisten, dia tanya ke siapa pun tapi tidak ada yang mengerti juga. “Akhirnya saya urungkan niat saya itu Akhirnya saya mendaftar ke teknik mesin. Tadinya teknik mesin ITB, nggak diterima. Akhirnya teknik mesin UI. Lulus dengan lulusan terbaik di 1992,” ungkap anak ke-2 dari 3 bersaudara.
Dalam hubungan kakak beradik, Prof Aris punya kakak bernama Utomo, meninggal 2 hari setelah dilahirkan. Adiknya seorang wanita, menikah dengan seorang perwira TNI, berpangkatnya Letnan Jenderal yang pensiun akhir Oktober 2024 ini.
Ketertarikannya pada matematika, lanjutnya, menurun dari ibu. “Ibu saya yang kuat menghitung. Beliau vokasi SMK. Ayah berlatarbelakang bahasa, ilmu sosial. Kalau ayah saya ASN di departemen keuangan, sampai terakhir Dirjen di Bea Cukai. Ibu saya ya Ibu rumah tangga. Sejak masa mudanya wiraswasta. Ya jual makanan, jual kain batik di Solo dengan teman-temannya almarhumah Bu Tien Soeharto. Saya sendiri di rumah saya masih native bahasa Jawa sekeluarga,” beber Wakil Rektor Universitas Pancasila bidang Pembelajaran, Kemahasiswaan dan Alumni.
Masa kecil Profesor Aris diwarnai dengan beberapa kali tinggal di luar Indonesia. Lahir di Singapura, saat berusia 5 tahun ia juga sempat ke Amerika. Baru kemudian sekolah di Sekolah Dasar di Jakarta. Alasan mengapa dia sempat beberapa tinggal di luar negeri karena dinas yang harus dilakukan ayahnya. “Orang tua ke Singapura sebagai atase keuangan dan ke Amerika untuk sekolah custom course selama 1 tahun,” terang Ketua Umum Yayasan Edukasi Karakter Bangsa Labschool Cirendeu sejak tahun 2020 itu .
Penerima penghargaan Pendidik dan Peneliti dalam 50 Tokoh Inspirasional FT-UI tahun 2014 tersebut mengakui, bahwa setelah lulus teknik, memang idealnya kerja di bidang industri.
“Saya mencoba melamar kerja. Saya diterima di Astra di 1992. Ketika itu, saya lulus Februari 1992 dan Mei 1992 diterima kerja. Intinya saya menyampaikan ke Ibu saya, bahwa saya bisa diterima kerja. Tapi saya nggak ambil. Saya memilih berwiraswata jadi kontraktor di bidang migas (minyak dan gas, red). Saya join usaha dengan senior-senior lulusan UI ketika itu. Saya nggak pernah mau masuk ke perusahaan BUMN karena takut disangka KKN,” kenangnya.
Ia menekuni usaha kontraktor sampai sekitar tahun 2001 – 2002. Proyeknya, membuat tangki-tangki timbun untuk BBM, bermitra dengan Pertamina sebagai salah satu kontraktor. Pada saat itu, Kaprodi S-3 Doktor Ekonomi Universitas Pancasila ini mengakui penghasilan yang didapatkan lebih banyak habis untuk gengsi.
“Di zaman itu, saya mengedepankan citra atau gengsi. Saya sewa kantor di lokasi strategis. Meskipun demikian, akhirnya juga bisa membeli 2 ruko. Setelah tahun 1997, saya beli kantor di Menara Imperium, sampingnya gedung KPK sekarang. Sekarang gedung kantor itu saya sewakan. Itu kantor strata title, separuh lantai di gedung itu (Menara Imperium, red),” ujar putra dari pasangan Soehardjo Soebardi dan Noek Bressinah.
Berbicara soal jodoh. Setelah cukup mapan, Aris muda menikah tahun 1997. Tak disangka, kata dia, ternyata wanita yang kemudian menjadi istrinya itu adalah adik dari teman sekelasnya ketika SMA.
“Jadi, saya ketemu pas datang ke pameran mobil semacam Gaikindo zaman itu. Dia salah satu SPG di stand Toyota. Waktu itu standarnya SPG Toyota kan paling tinggi. Tesnya paling susah. Namanya orang teknik kan lanang kabeh (cowok semua, red). Nah, saya waktu itu jalan sama teman-teman ke acara itu. Saya ditanya dulu sekolah di mana. Saya bilang di SMA Kanisius Menteng. Lalu dia bilang kakaknya juga lulusan Kanisius sambil menyebutkan namanya. Ternyata teman sekelas saya. Haha. Supervisornya dia juga lulusan Kanisius. Jadi serba kebetulan semuanya,” ungkapnya.
Setelah Allah mempertemukan dengan pasangan hidupnya dan kemudian menikah pada tahun 1997, Aris dan istri mendapatkan titipan anak pada 1999. Anak-anaknya, lanjut pria yang telah menerbitkan buku yang berjudul Pasar Indonesia (2014), Potensi Persoalan Sosial Media (2014), Etika Berwarga Negara (2015), Etika Bisnis (2015), dan Leadership – Catatan Seorang Street Smart Academician Mengelola Organisasi itu, lahir di Jakarta semua.
Tidak puas dengan pendidikan sebelumnya, Arissetyanto Nugroho melanjutkan pendidikannya ke jenjang paskasarjana (S2) pada Mei 1997, tepat 2 bulan setelah menikah. Istrinya pun, kata Aris, cukup menjadi Ibu rumah tangga saja.
“Saya menikah itu Maret, Mei 1997 kuliah S2. Anak saya lahir 1999, pas saya lulus S2. Saya ambil Magister Manajemen. Sebutannya ketika itu, lulusan idaman orang tua cari menantu,” ucap suami dari Nurul Wuryandani diiringi senyum.
Perjalanan karirnya menjadi kontraktor berakhir sekitar tahun 2001. Menurut Prof Aris, usai Reformasi, yang berbau-bau Orde Baru diminta mundur dari kontrak kontraktor. Padahal, imbuhnya, seharusnya bisa diuji. Dan hanya menyasar segelintir orang saja. Ada yang di lingkaran tertentu yang tidak tersentuh. Namun, Aris tidak menampik bahwa kejadian itu adalah bagian dari sejarah hidupnya.
“Setelah itu saya alih profesi dengan membuat lembaga kursus bahasa asing dengan adik saya dan beberapa teman. Semua bahasa diajar karena banyak orang yang belajar untuk bekerja ke luar negeri. Kemudian adik saya yang meneruskan. Jalan 2 tahun, saya dipanggil Pak Probosutedjo untuk join di Universitas Mercu Buana,” papar penerima penghargaan Tanda Kehormatan Satya Lencana Wira Karya dari Presiden RI dalam bidang Kewirausahaan di 2016.
Meskipun masih ada hubungan keluarga dengan Probosutedjo, ayah dari Risnu dan Danang tersebut pertama kali bergabung di Universitas Mercu Buana seperti staf magang.
“Karena kan perwakilan yayasan. Saya masuk ke pengurus, sebagai sekretaris. Sebelumnya, yayasan kurang aktif, begitu saya masuk baru aktif. Kemudian saya baru mulai mengajar di 2006. Selain wiraswasta, saya akhirnya keterusan di bidang pendidikan. Karena awalnya memang cita-cita jadi pendidik. Alhamdulillah semua ya Allah yang mengatur,” ucapnya mensyukuri.
Selain profesinya sebagai pendidik, jiwa entrepreneurship-nya tetap terasah. Terbukti salah satu pemenang hibah World Class Professor (WCP) pada Agustus 2021 itu masih memiliki properti berupa gedung perkantoran yang ia sewakan. Tidak hanya itu, Aris juga memiliki hotel di Malang bernama Fave Hotel, serta mengelola sekolah di Lab School di daerah Cirendeu, Tangerang Selatan, dan beberapa bisnis lain.
Dalam mengelola sekolah atau lembaga pendidikan, ia mengakui bahwa keinginan para orang tua kan juga banyak. “Hal semacam itu harus kita jadikan nilai tambah,” ujarnya yang juga menjadi Ketua Team Marketing Sekolah Pascasarjana Universitas Pancasila.
Di tengah kesibukannya yang luar biasa, Prof Aris masih sangat tekun memikirkan bagaimana dunia pendidikan harus lebih maju. Menurut dia, memang jika pada tahun-tahun awal berdiri, sebuah lembaga pendidikan terutama pendidikan tinggi sekelas universitas atau sekolah tinggi, lebih mengandalkan kuantitas atau jumlah mahasiswanya. Namun, sepatutnya setelah berjalan beberapa tahun, mulai berpikir mengenai peningkatan kualitas, selain banyaknya jumlah mahasiswa.
“Kalau awal berdiri ya kuantitas. Berjalan beberapa tahun ya kualitas. Nah, kalau seperti Pancasila ya yang paling menonjol mungkin di Ekonomi dan Hukum. Hal ini karena kualitasnya sudah terbangun dengan baik, kemudian diiringi kuantitas. Fokus dengan mahasiswa yang sedang dididik dan yang akan lulus di Universitas Pancasila,” bebernya.
Kebijakan seperti itu, lanjutnya, di rata-rata kampus besar sama. Di Universitas Pancasila misalnya, kata dia, mahasiswa harus tahu professional attitude. Belajar hal itu bisa melalui UKM atau Ormawa. Penting bagi mahasiswa secara bertanggung jawab menyerahkan tugas sesuai waktunya.
“Target minded. Disiplin masuk kuliah. Setelah lulus ada SKPI, atau Surat Keterangan Pendamping Ijazah, yang menginformasikan mahasiswa yang bersangkutan cukup bertanggung jawab. Itu penting bagi generasi sekarang,” tegas pria yang suka straight to the point itu.
Ketika ditanya soal masa depan pendidikan nasional, Prof Aris punya pendapat yang cukup menarik. Mulai dari jenjang SD, SMP, SMA sederajat, dan ujung tombak di perguruan tinggi.
“Tidak mudah memang menyajikan pendidikan yang baik misalnya saat pandemi Covid kemarin. Sekarang tujuannya mengembalikan masa-masa sebelum Covid. Ya harus jadi tanggung jawab bersama antara pemegang kebijakan dan profesional di lembaga pendidikan. Kekurangan kita ya kurang fokus. Ya harus dibenahi. Sering pendidikan kita nggak sinkron. Misalnya, sering disebutkan bahwa negara kita negara maritim. Tapi anak-anak kita di sekolah tidak diajarkan berenang dengan baik. Jadi tidak banyak yang bisa berenang,” ungkapnya.
Sering kali, dikatakannya, kita nggak siap dengan prioritas, Misalnya menteri pendidikannya juga jarang ke kampus dan ke sekolah. “Kita harus terukur dan terstruktur. Apa sih yang ingin dicapai. Bahkan banyak anak SD yang belum bisa baca. Nggak perlu harus di daerah pedalaman atau daerah terluar, di kota besar dan penyangga juga masih banyak yang belum bisa baca,” tuturnya.
Prof Aris mencontohkan, di Jepang, anak-anak belajar 9 tahun dengan karakter dan softskill. Kemampuan motoriknya juga berjalan. “Coba bayangkan, anak SMP kita masih ada yang nggak bisa pasang tali sepatu. Kemudian dilanjutkan dengan materi life skill. Harus beriringan kebijakannya. Kita juga harus review. Merdeka Belajar misalnya. Harus diimplementasikan dengan baik. Jangan sampai karena tidak tersosialisasi dengan baik membuat kampus jadi bingung,” ulasnya..
Kualitas generasi kita, menurut Aris, ada yang degradasi dan alami peningkatan. Anak-anak sekarang tidak diajarkan pada tanggung jawab. Di level mahasiswa, di bidang hukum misalnya, mencari undang-undang saja yang sesuai kebutuhan tulisan, masih salah. Kebiasaan generasi sekarang, kata dia, tidak mau mencari solusi, malah menghindari.
“Guru-guru sekarang juga sama, kaum Milenial. Masih mellow. Kalau ada kegiatan olah raga, gurunya malah ngadem di ruangan AC. Sederhananya nggak mau capek. Itu yang terjadi,” imbuhnya.
Prof Aris menilai bahwa mMembangun kekuatan sesuai dengan muatan lokal kita. Kognitif, psikomotor, dan afektif. Dilanjutkannya, mata pelajaran tidak perlu banyak, tapi mereka menguasai.
“Untuk pendidikan 9 tahun menurut saya mata pelajaran PKN, Sejarah, Matematika, itu sudah cukup. Itu ada karakter di semua mata pelajar tersebut. Pramuka juga, misalnya jadi kegiatan wajib. Sering kali tidak sinkron dengan kenyataan di kelas. Untuk hal lainnya. Misalnya, datang juga telat. Intinya bagaimana membangun karakter well manage atas waktu. Misalnya istirahat saat makan siang, banyak yang makan dulu baru shalat,” papar pemilik gelar Doktor (S3) bidang Manajemen dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2010.
Dia berpesan bahwa untuk menjadi manusia maju itu perlu perubahan sikap. Kritisisme contohnya, sering bikin prioritas tapi kita tidak komitmen untuk melakukan hal itu.
Lebih jauh, tuturnya, konsistensi dan sinkronisasi di gerakan Merdeka Belajar itu penting. Memang tidak mudah, namun bisa dilakukan.
“Membangun kompetensi di SD, SMP, SMA antara lain; hormat pada orang tua, punya kemampuan menganalisis. Nah, soft Skill apa yang ingin dibangun? Saya berusaha mendefinisikan secara operasional. Mengamalkan Pancasila ya bagian dari hal-hal semacam itu juga. Well manage dalam melakukan tugas-tugasnya. Itu juga penting bagi generasi sekarang. Itu yang perlu diperbaiki prilakunya. Hal-hal semacam ini ya penting membangun karakter,” tutup Prof Aris yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia Jakarta (YPPIJ) yang menaungi Universitas Trilogi Jakarta. (Ave Rosa A. Djalil)
Discussion about this post