Avesiar – Jakarta
Tren pakaian untuk kaum hawa terus berkembang dan menjadi bagian dari peluang usaha garmen di tanah air. Tidak terkecuali tren fashion yang mengincar para Muslimah, terutama pada mukena yang digunakan untuk shalat.
Berbagai motif dan warna menjadi aksen dari mukena-mukena zaman sekarang. Hal ini tentu menjadi pertanyaan yang menarik, bolehkan menggunakan mukena bermotif dan berwarna-warni? Bagaimana hukumnya dalam Islam?
Dilansir laman Nahdatul Ulama, Selasa (19/11/2024), Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo, menuliskan bahwa secara fiqih bagaimana hukum memakai pakaian dengan motif seperti itu, dan sebatas manakah gambar, corak, motif, atau variasi warna pada mukena yang makruh dipakai dalam shalat?
Dituliskannya, permasalahan ini telah dibahas dalam Bahtsul Masail Komisi B Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur ke XXVII, di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, 13-14 November 2024.
Bahtsul masail kemudian merumuskan jawaban:
“a. Pada dasarnya memakai perlengkapan shalat sebagaimana dalam deskripsi diperbolehkan, selama gambar, corak atau variasi warnanya tidak berpotensi mengganggu konsentrasi shalat.
b. Sebatas gambar, corak atau variasi warna yang berpotensi mengganggu konsentrasi shalat. Seperti perlengkapan shalat dengan corak/warna yang mencolok atau gambar yang aneh-aneh sehingga menjadi pusat perhatian.”
Disebutkannya juga, para fuqaha utamanya ulama mazhab Syafi’i menyatakan, kemakruhan shalat dengan mengenakan pakaian bergambar bercorak atau bermotif. Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan:
“Karena hadits larangan mengangkat pandangan ke atas dalam shalat, dimakruhkan juga shalat memakai baju yang bergaris-garis, atau di depannya atau di bawahnya ada baju seperti itu, sebab hal itu dapat mengganggu kekhusukan”. (Fathul Mu’in, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiyah: 2017], halaman 40).
Kemakruhan didasarkan pada hadits riwayat Imam Al-Bukhari sebagai berikut:
“Apa yang membuat orang-orang itu mengangkat penglihatan mereka ke langit dalam shalat mereka?” Kemudian Nabi saw bersabda lagi: “Hendaknya mereka berhenti dari hal itu, atau (jika tidak) niscaya penglihatan mereka tercerabut secara cepat.” (HR Al-Bukhari)
Hukum makruh memandang langit saat shalat dalam hadits di atas menjadi dasar hukum makruh mengenakan baju yang bergaris-garis, sebab keduanya mempunyai ‘illat yang sama, yakni mengganggu atau mengalihkan kekhusyukan shalat.
Lalu ia menyebutkan, Syekh Al-Bakri Syatha menjelaskan redaksi Fathul Mu’in secara rinci:
“Ungkapan Al-Malibari: ‘Dan karena itu makruh hukumnya …’ maksudnya adalah, karena adanya hadits yang dijadi dalil atas kemakruhan memandang ke langit, maka hukum memakai baju bergaris-garis juga dimakruhkan …, dengan alasan yang sama yaitu adanya pengalihan perhatian dari shalat pada masing-masing dari dua hal tersebut. …
Ungkapan: ‘Fi mukhattat’, yaitu pakaian yang ada garis-garisnya, baik berupa gambar atau lainnya. Ungkapan: ‘Ilaihi’, maksudnya dengan adanya pakaian di depannya yang mengandung hal tersebut. Ungkapan: ‘Alaihi’, seperti sajadah.
Ungkapan: ‘Karena mengganggu kekhusyukan’, adalah alasan untuk hukum yang ditetapkan. Maksudnya, pakaian bergaris-garis dimakruhkan berdasarkan hadis yang telah disebutkan, karena hal itu mengganggu kekhusyukan.” (I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr], juz I, halaman 223).
Uraian Syekh Al-Bakri Syatha semakin memperjelas, yang dimakruhkan tidak hanya pakaian bergaris-gairs, tapi juga pakaian bergambar atau selainnya. Baik di hadapan orang yang shalat atau di bawahnya, semisal sajadah, yang berpotensi besar mengganggu kekhusyukan shalat.
Ibnu Hajar Al-Haitami lebih memperjelas, pakaian bergaris yang dimaksud adalah yang terlihat jelas sehingga dapat menarik perhatian pandangan:
“Ungkapan An-Nawawi: ‘Fil mukhattat au ilaihi au ‘alaihi’, maksudnya memakai pakaian tersebut, menghadap ke arahnya, atau berdiri di atasnya. Hendaknya berdasarkan alasan adanya gangguan (fitnah), dipahami bahwa pakaian bergaris-garis yang dimaksud adalah yang terlihat jelas, sehingga menarik pandangan.
Beda halnya jika pakaian tersebut ditutupi oleh sesuatu yang menghalangi pandangan, seperti memakai pakaian lain di atasnya, maka dalam kondisi tersebut tidak ada kemakruhan. Wallahu a‘lam.” (Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Dar Ihya’ At-Turats], juz III, halaman 35).
Imam Ibnu Hajar juga menegaskan, kemakruhan memakai pakaian bergaris-garis dalam shalat bersifat mutlak, tanpa melihat kondisi orang yang melihat, apakah benar-benar menyebabkannya lalai ataupun tidak.
Artinya, hukum makruhnya dibangun atas dasar bahwa pandangan terhadap baju yang bergambar, bergaris-garis atau selainnya, cenderung menyebabkan kelalaian, tidak melihat pada kondisi khusus orang yang tidak terganggu dengannya.
Ibnu Hajar memfatwakan:
“Maka pendapat yang lebih kuat adalah, apabila hal tersebut berada dalam penglihatan seseorang, maka shalatnya dimakruhkan. Sebab, melihatnya cenderung menyebabkan kelalaian. Karena itu, hukum ditetapkan berdasarkan adanya objek tersebut tanpa melihat kondisi masing-masing orang-orang yang melaksanakan shalat.” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, [Mesir, Maktabah Al-Islamiyah: tt], juz I, halaman 141).
Kemudian terkait ragam redaksi riwayat yang digunakan dalam hadits terkait permasalahan ini, ada yang menggunakan redaksi: تفتنني أن فأخاف dalam riwayat lain menggunakan redaksi: هذه أعلام شغلتني, dan redaksi riwayat lain: هذه الهتني.
Syekh Mahfudz Tremas dengan mengutip pendapat Imam An-Nawawi menjelaskan kedekatan makna dari keseluruhan kalimat-kalimat tersebut, yakni mengganggu hati dari kesempurnaan fokus dalam shalat.
“Imam An-Nawawi berkata: ‘Makna dari ungkapan-ungkapan ini saling berdekatan, yaitu menyibukkan orang dari kesempurnaan hadirnya hati dalam shalat, merenungi dzikir-dzikirnya, bacaan Al-Qurannya, serta tujuannya berupa kepatuhan dan ketundukan.
Karena itu, di dalam hadits tersebut terdapat anjuran untuk menghadirkan hati dalam shalat, merenungkan apa yang telah disebutkan, mencegah pandangan agar tidak melihat hal-hal yang mengganggu, serta menghilangkan sesuatu yang dikhawatirkan dapat menyibukkan hati. Juga, makruh menghias mihrab masjid, dindingnya, dan mengukirnya, serta hal-hal lain yang dapat mengganggu kekhusyukan.
Hal ini karena Nabi menjadikan alasan untuk menghilangkan kain bergambar (khumrah) adalah untuk tujuan ini.
Dalam hal ini, shalat tetap sah meskipun terdapat gangguan pikiran terhadap hal yang tidak berkaitan dengan shalat. Ini adalah kesepakatan para ulama fiqih. Karenanya, jagalah pemahaman ini karena sangat berharga.” (Hasyiyah At-Tarmasi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: t.t], juz III halaman 372).
Untuk diketahui hadir dalam bahtsul masail sebagai Mushahih: Kiai Anang Darunnaja, Kiai Zahro Wardi, Kiai Saiful Anwar, dkk. Juga hadir sebagai perumus: KH Hizbulloh Al-Haq, Kiai Rofiq Ajhuri, Kiai Muhammad Hamim HR, dkk.
Wallahu a’lam. (put/dilansir laman Nahdlatul Ulama)
Discussion about this post