Avesiar – Jakarta
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana melakukan kunjungan edukasi ke kawasan bersejarah Pecinan Glodok Jakarta Barat, Senin (18/11/2024). Kegiatan yang berlangsung mulai pukul 14.00 hingga 17.30 tersebut bertujuan memahami komunikasi antar budaya melalui jejak sejarah dan keberagaman budaya di kawasan tersebut.
Kunjungan edukasi dan penelusuran sejarah yang dilakukan oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana ke beberapa situs bersejarah di kawasan Pecinan Glodok.
Rombongan Mahasiswa gabungan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana itu dibimbing oleh dosen mata kuliah Komunikasi Antar budaya Rosmawaty Hilderiah P., Dr., S.Sos., M.T., di mana di dalamnya termasuk kelompok 11 yang beranggotakan Glory Tambajong, Tasha Korompis, dan Balqis Zahra.
Mereka mengunjungi Bangunan Candra Naya, Vihara Dharma Bakti, Gereja Khatolik Santa Maria de Fatima, Klenteng Toasebio, Pantjoran Tea House, dan kawasan Petak Enam Glodok yang terkenal.
Kunjungan bertujuan memperdalam pemahaman mahasiswa tentang komunikasi antar budaya, melalui pengamatan langsung terhadap keberagaman budaya dan sejarah yang ada di kawasan Pecinan Glodok. Mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil dan dipandu oleh pemandu wisata lokal yang memahami sejarah kawasan tersebut. Setiap kelompok melakukan observasi, dokumentasi di lokasi setempat.
Sejarah Singkat Lokasi Kunjungan
Bangunan Candra Naya
Bangunan bersejarah yang dibangun pada tahun 1807 ini merupakan kediaman Mayor Khouw Kim An, pemimpin komunitas Tionghoa terakhir di Batavia. Arsitektur bangunan mencerminkan perpaduan gaya Tionghoa Selatan dengan sentuhan kolonial Belanda. Saat ini, bangunan tersebut menjadi saksi bisu kejayaan komunitas Tionghoa di Jakarta.
Vihara Dharma Bakti
Didirikan pada tahun 1650 dengan nama awal Kwan Im Teng, vihara ini merupakan tempat ibadah tertua di Jakarta. Vihara ini pernah mengalami kebakaran hebat pada tahun 2015, namun berhasil direnovasi dan tetap mempertahankan nilai sejarahnya. Arsitektur vihara menunjukkan ciri khas bangunan Tionghoa klasik.
Gereja Katolik Santa Maria de Fatima
Gereja yang didirikan pada tahun 1954 ini memiliki keunikan tersendiri karena mengadopsi arsitektur Tionghoa. Awalnya merupakan sebuah kelenteng yang kemudian dialihfungsikan menjadi gereja Katolik. Bangunan ini menjadi simbol akulturasi budaya Tionghoa dan Katolik di Jakarta.
Klenteng Toasebio
Klenteng Toasebio didirikan pada tahun 1650 oleh komunitas Tionghoa di Batavia (sekarang Jakarta). Tujuan utama pendirian klenteng ini adalah sebagai tempat peribadatan dan pusat kegiatan sosial bagi masyarakat Tionghoa. Klenteng ini memiliki arsitektur yang khas dengan nuansa Tionghoa, termasuk atap yang melengkung dan ornamen-ornamen yang kaya. Desainnya mencerminkan tradisi budaya Tionghoa yang kuat.
Selain sebagai tempat ibadah, Toasebio juga berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial dan budaya bagi komunitas Tionghoa. Klenteng ini sering mengadakan berbagai perayaan, seperti Imlek, yang menarik banyak pengunjung. Warisan Budaya Klenteng Toasebio diakui sebagai situs warisan budaya yang penting, tidak hanya bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Pantjoran Tea House
Terletak tepat di pertigaan antara Jalan Pancoran dan Jalan Hayam Wuruk, minuman teh di tempat ini ternyata pernah menjadi minuman penyelamat nyawa warga Tionghoa di Glodok. Dikutip dari situs Pantjoran Tea House pada tahun 1629, dalam serangan kedua pasukan Mataramke Batavia menyebabkan Sungai Ciliwung sebagai satu-satunya sumber air bersih tercemar. Banyak warga Batavia yang meninggal akibat wabah disentri dan kolera. Tetapi, jumlah korban dari warga Tionghoa justru sedikit. Dipercaya tradisi warga Tionghoa menyeduh teh dengan air panas telah menyelamatkan nyawa mereka.
Petak Enam Glodok
Kawasan bersejarah yang sejak abad ke-17 menjadi pusat perdagangan dan permukiman masyarakat Tionghoa di Batavia. Nama Petak Enam berasal dari pembagian lahan pada masa kolonial Belanda. Hingga kini, kawasan ini tetap menjadi pusat perdagangan yang ramai dan menyimpan berbagai warisan kuliner Tionghoa.
Melalui kunjungan ini, mahasiswa dapat memahami bagaimana komunikasi antar budaya telah membentuk identitas kawasan Glodok sebagai melting pot berbagai budaya di Jakarta. Para mahasiswa juga berkesempatan mempelajari bagaimana nilai-nilai toleransi dan harmoni antar budaya tetap terjaga hingga saat ini di kawasan tersebut.
“Kunjungan ini memberikan pengalaman berharga bagi kami mahasiswa untuk melihat secara langsung bagaimana komunikasi antar budaya terjadi dalam konteks sejarah dan kehidupan sehari-hari di kawasan Pecinan Glodok,” ujar Tria Maulidia, salah satu Mahasiswa yang mengikuti studi lapangan.
Di akhir kunjungan, mahasiswa diminta untuk menyusun laporan hasil observasi yang mencakup analisis komunikasi antar budaya yang terjadi di kawasan Pecinan Glodok, serta refleksi pribadi mengenai pembelajaran yang didapat dari kunjungan tersebut. (app/pro)
Discussion about this post