KAMU KUAT! – Jakarta
Pernah nggak sih, kamu ngerasa ketinggalan banget kalau nggak ikutan tren terbaru, berita ter-update atau panik karena semua temanmu udah punya barang terbaru, sedangkan kamu cuman biasa-biasa aja, Kalau iya, mungkin kamu lagi kena FOMO alias Fear of Missing Out.
Kondisi ini menggambarkan ketakutan melewatkan momen, pengalaman, atau aktivitas yang sedang terjadi atau populer di lingkungannya.
Dikutip dari laman Halodoc, FOMO merupakan singkatan dari “Fear of Missing Out” atau takut ketinggalan. Kondisi ini terjadi ketika seseorang merasa cemas atau khawatir melewatkan pengalaman, acara, atau aktivitas yang sedang terjadi di sekitarnya.
Ada sejumlah hal yang bisa membuat seseorang merasa FOMO. Misalnya, seperti paparan terhadap kehidupan sosial melalui media sosial yang terlalu berlebihan atau cerita dari teman-teman, yang membuat seseorang merasa tertinggal atau kurang berpartisipasi.
FOMO tidak hanya terbatas pada kehidupan sosial secara langsung, tetapi juga dapat terjadi dalam berbagai konteks, termasuk pekerjaan, pendidikan, dan hobi. Orang yang FOMO akan terus-menerus merasa perlu terlibat dalam segala hal agar tidak kehilangan momen atau peluang penting
FOMO itu sebenarnya bisa diatasi kok! Apalagi di zaman media sosial yang serba update ini, rasanya kita jadi terus-terusan membandingkan hidup kita dengan orang lain. Tapi kalau nggak dikontrol, FOMO bisa bikin kamu capek, stres, bahkan nggak percaya diri. Nah, itu berbahaya dan malah merusak potensi diri kita.
Yuk kita simak cerita teman kita, Masyel Aisya Rinata yang bersekolah SMA Global Islamic School 2, Tangerang Selatan, Kelas 11.
“Kalau menurut saya Fomo itu sendiri adalah di mana ada perasaan ketakutan ketinggalan suatu trend yang sedang booming. Pendapat saya sendiri tentang seorang yang fomo, sebenarnya fomo itu tidak selalu negatif atau buruk, asalkan yang di Fomo itu sendiri adalah hal-hal yang baik serta positif. Sedangkan fomo yang negatif adakah fomo yang memaksakan diri harus mengikuti suatu trend sampai benar-benar mendapatkan yang diinginkan sesuai trend,” ucap Masyel kepada KAMU KUAT!, Ahad (8/12/2024).
Gadis ini juga mengakui pernah juga mengalami fomo. Salah satu fomo positif ketika ia mendapatkan tugas sekolah. Awalnya ia santai, main hp, main game. Tapi ketika melihat teman-temannya sudah sibuk menyelesaikan tugas tersebut, akhirnya Masyel panik hingga segera mengerjakan tugas tersebut sampai selesai.
Sedangkan pengalaman fomo negatif menurutnya ialah saat ada trend handphone keluaran terbaru. “Awalnya pengen banget punya dan saya merasa saya harus mengikuti trend. Tapi dipikir-pikir selama beberapa hari, akhirnya saya memutuskan tetap menggunakan hp yang lama. Saya berfikir dampak ke depannya jika saya punya hp terbaru mungkin saya akan makin boros, serta ikut-ikutan fomo, dan orang tua saya pun tidak mendukung ke-fomo-an saya terhadap hp terbaru,” ujar Masyel.
Pendapat lain tentang Fomo diungkapkan Muhammad Alizza Fiddien, mahasiswa semester 1, Fakultas Hukum di UPN Veteran Jakarta.
“FOMO adalah Individu atau masyarakat yang mengikutin sesuatu yang sedang trend atau vibes. Baik itu berupa barang atau hal lain seperti lagu, tarian dan lain-lain, yang mungkin dia sendiri sebenarnya tidak tahu dan sepenting apa barang yang sedang trend karena sering bersliweran atau Fyp (for your page, red) di sosial media. Menurut aku di era digital dan era globalisasi sekarang tuh mungkin fomo menjadi hal yang wajar, karena cepatnya informasi yang kita terima menjadikan sebuah fenomena yang bernama Fomo,” kata Alizza.
Secara sadar atau tidak sadar, lanjutnya, kita mengikuti fomo agar bisa bergaul dengan teman. Ketika kumpul ngobrol, jadi ada bahan obrolan, agar bisa nyambung ketika bergaul.
“Terus pernah dulu banget waktu SMP aku ikut-ikutan trend fomo. Saat itu ada trend hoodie h&m yang bertulisan Nasa dan aku ikut-ikutan fomo membeli hoodie itu, dan jujur ada kepuasan tersendiri pada saat itu,”
Bagi Alizza, Fomo itu sebenarnya wajar-wajar saja selagi tidak berlebihan. Namun ada juga yang merasa puas jika sudah mengikuti trend. Mungkin dengan demikan dia bisa lebih mengekspresikan diri dan menambah kepercayaan dirinya,” ujar lajang yang hoby membaca.
Sedangkan Naila Marwa Huwaida, mahasiswi semester 5 di Universitas Padjadjaran, Bandung, punya pendapat tersendiri.
“Kalau aku sendiri ngalamin fomo itu sering sih. Apalagi di lingkungan kampus. Awal semester banget, aku sering ngalamin fomo. Fomo-nya itu ngeliat temen-temen atau orang lain itu ikut organisasi, yang katanya itu biar pengalaman buat masa depan. Nah, aku jadi fomo di situ. Karena merasa ngga punya pengalaman apa-apa selama di tempat kuliah, jadinya pengen ikut-ikutan organisasi gitu. Yang akhirnya sekarang punya pengalaman berorganisasi,” kenang Naila.
Dampak negatif dan positifnya, lanjutnya, sebenarnya tergantung bagaimana cara orang tersebut berpikir. “Gimana dia berpikir ke depannya, apakah emang akan nguntungin dia apa engga. Apa emang cuman ngikut-ngikut doang, tapi malah jadi ga bener buat dia. Pokoknya selagi fomo yang diikutin itu baik, lanjutkan,” ujarnya menambahkan.
Jika FOMO dari sudut pandang remaja di atas cukup menjelaskan trend yang terjadi di kalangan mereka, bagaimana pandangan dari orang tua.
Fomo di mata Dayu Mayang Wiratri, seorang ibu rumah tangga dengan 5 orang anak yang juga bekerja ini, bisa jadi informasi menarik.
“Menurut pandangan saya sebagai orang tua, fomo itu ada dampak positif dan negatifnya. Untuk dampak positif itu sendiri yang saya rasakan. Anak yang terkena dampak fomo akan terdorong untuk menjadi lebih aktif dalam interaksi sosial yang menyebabkan luasnya pengetahuan serta pergaulan, lalu dapat mencoba hal-hal baru, mau berpartisipasi dalam berbagai aktivitas,” ujarnya.
Sehingga, imbuhnya, bisa membantu mereka menemukan minat dan bakat yang mungkin belum mereka ketahui sebelumnya. Dan Wawasan menjadi lebih terbuka atau open minded tentang segala sesuatu yang terjadi. Salah satu contohnya menyimak berita politik.
“Jika ada dampak positif, pasti akan asa dampak negatifnya juga. Terkadang anak akan Sulit berkonsentrasi dalam tugas-tugas sekolah atau aktivitas lainnya, Hanya fokus dengan media sosial. Hingga menyebabkan gangguan tidur. Karena mereka takut ketinggalan informasi, sehingga merasa harus tetap terjaga (begadang) dan terkadang adanya gangguan emosional seperti mudah sedih, cemburu atau kesepian. Juga merasa tertekan, karena merasa tidak mampu meniru gaya hidup yang dilihat di media sosial,” papar Dayu Mayang Wiratri.
Untuk menghadapi anak remaja yang Fomo, ia selalu membatasi serta mengawasi penggunaan gadget dan media sosial. Lalu di sela-sela aktivitasnya sebagai seorang ibu rumah tangga dan pekerja ia akan mencoba Lebih banyak meluangkan waktu untuk berinteraksi langsung dengan anak-anak, serta menjadi contoh yang baik.
“Misalnya, dengan menggunakan media sosial secara bertanggungjawab, dan menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada apa yg terjadi di dunia online,” pungkasnya.
Jadi guys, jangan biarkan FOMO mengambil alih hidupmu, ya! Ingat, kebahagiaan tidak selalu tentang mengikuti apa yang dilakukan orang lain, tetapi tentang menemukan apa yang benar-benar berarti untuk dirimu sendiri.
Yuk, fokus pada hal-hal yang membuatmu tumbuh dan bahagia, bukan hanya yang terlihat keren di mata orang lain. Karena pada akhirnya, hidup adalah tentang menjalani cerita unikmu sendiri. Keren kan?
O ya, dikutip dari laman MSIGLIFE, tips menjadi Fomo yang bijak bisa seperti berikut:
• Gunakan fomo sebagai motivasi diri agar bisa berkembang lebih maju dan sukses.
• Cari fomo atau trend yang murah sesuai buget agar dapat menyadari batasan diri.
• Membatasi penggunaan media sosial. Media sosial yang sering jadi pemicu FOMO.
• Fokus pada diri sendiri. Membandingkan diri dengan orang lain dapat menurunkan kepuasan hidup.
• Membangun koneksi dengan orang lain. Cari teman atau komunitas dengan minat yang sama, sehingga kamu bisa berbagi pengalaman positif. Hubungan sosial yang kuat akan membuatmu merasa lebih puas dan bahagia dengan hidupmu.
(rst)
Discussion about this post