Avesiar – Jakarta
Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 yang rencananya akan diberlakukan pemerintah mendapat respons dari Majelis Ulama Indonesia. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Anwar Abbas, Jum’at (27/12/2024).
Dikutip dari laman Majelis Ulama Indonesia, Sabtu (28/12/2024), ulama yang akrab dipanggil Buya Abbas tersebut meminta pemerintah untuk menunda kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) tersebut. Alasannya adalah erat dengan kehidupan rakyat banyak.
“Untuk itu mengingat masalah kenaikan PPN ini sangat terkait erat dengan kehidupan rakyat banyak, maka untuk kebaikan semua pihak, sebaiknya pemerintah menunda pelaksanaan kenaikan PPN (menjadi) 12 persen tersebut,” kata Buya Anwar Abbas.
Penundaan tersebut, lanjutnya, agar dilakukan sampai keadaan dunia usaha dan ekonomi masyarakat mendukung untuk kenaikan PPN menjadi 12 persen. Menurutnya, penundaan ini sangat penting untuk diperhatikan terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal itu, ditambahkannya, karena Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan telah berkali-kali menyampaikan sikapnya terkait kebijakannya yang memberdayakan dan pro terhadap rakyat, bukan sebaliknya.
Buya Anwar Abbas juga menyebutkan bahwa sementara kebanyakan para ahli dan warga masyarakat menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen di saat trust masyarakat kepada pemerintah belum kuat. Dan juga hal tersebut jelas tidak tepat dilaksanakan saat kehidupan dunia usaha sedang lesu karena daya beli masyarakat sedang menurun.
Dari perspektif hukum, jelasnya, kenaikan PPN menjadi 12 persen jelas memiliki dasar hukum karena sudah tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Rencana tersebut menurutnya, menimbulkan tanda tanya, apakah sudah sesuai dengan amanat konstitusi atau tidak. Juga menimbulkan pertanyaan dari perspektif sosial ekonomi, apakah ketentuan tersebut sudah tepat atau belum untuk dilaksanakan saat ini.
“Di sinilah letak masalah dan kontroversinya. Pihak pemerintah tampak bersikeras untuk memberlakukan ketentuan tersebut pada tanggal 1 Januari 2025. Alasannya ada 2 hal yang sangat mengemuka,” ucapnya.
Pertama, sudah merupakan tuntutan dari UU HPP. Buya Anwar mengatakan, kalau tidak dilaksanakan, maka pemerintah akan dicap telah melanggar undang-undang. Kedua, pemerintah sedang memerlukan dana yang besar untuk membiayai semua pengeluaran pemerintah, termasuk pengeluaran untuk pembangunan.
“Untuk itu, sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam melaksanakan kenaikan PPN (menjadi) 12 persen tersebut, pemerintah juga menyiapkan berbagai langkah seperti mengecualikan kenaikan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, obat-obatan dan layanan pendidikan,” tuturnya.
Buya Anwar mengingatkan pemerintah bahwa masayarakat dan dunia usaha tampak resah dan sangat keberatan dengan pemberlakukan undang-undang tersebut. Sebab, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan mendorong terjadinya kenaikan harga barang dan jasa.
“Bila hal demikian yang terjadi, maka tentu daya beli masyarakat akan menurun. Jika daya beli masyarakat menurun, maka tingkat keuntungan pengusaha dan kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat tentu juga akan menurun,” tegasnya.
Hal tersebut, imbuhnya, jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Ia menjelaskan, dalam amanat konstitusi mengharapkan semua tindakan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus diarahkan bagi terciptanya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (adm)
Discussion about this post