KAMU KUAT – Jakarta
Menjadi pecinta alam adalah tentang lebih dari sekadar menjelajahi keindahan bumi. Kegiatan ini merupakan aktifitas yang membutuhkan keberanian, disiplin, dan tanggung jawab.
Para mahasiswa pecinta alam atau kerap disebut Mapala, di mana mereka tergabung dalam salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) dari setiap kampus, punya pengalaman bagaimana mencintai alam dengan mendaki gunung. Namun, memang ada juga yang memulainya sejak di bangku SMA dan tidak seaktif para pecinta alam yang tergabung dalam Mapala kampus, alias ikut-ikutan serta coba-coba.
Yuk cari tahu cerita seru dari para remaja sahabat kanal remaja dan anak muda berdaya KAMU KUAT! yang ikut kegiatan ini!
Lina Septiana, mahasiswi semester akhir, Universitas Negeri Jakarta (UN)
Masa kecil Lina diwarnai dengan bermain di kali dan sawah. Kebiasaan ini secara alami membuat ia jatuh cinta pada alam. Namun, perjalanan menjelajahi alam yang lebih luas baru dimulai saat SMP dan SMA, ketika saya mulai mengunjungi curug-curug di sekitar daerah.
Puncaknya, saat SMA Lina mulai berani mendaki gunung. Hingga sekarang, total baru tiga kali mendaki gunung, dan semuanya ke Gunung Prau. Meski baru sedikit, pengalaman mendaki gunung memberikan kesan yang mendalam. Sisanya, waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk mengeksplorasi alam seperti camping, hiking di bukit-bukit, atau sekadar menikmati suasana tenang di tengah alam.
“Kami mendaki malam hari, yang artinya harus berbagi oksigen dengan pohon-pohon di sekitar jalur pendakian. Rasanya ngos-ngosan banget, apalagi jalur yang saya pilih adalah jalur Patak Banteng jalur tercepat menuju puncak, tapi juga terkenal paling berat. Trek yang curam membuat tenaga cepat terkuras, terutama bagi pendaki pemula seperti saya,” terang Lina
Namun, perjuangan itu terbayar lunas begitu sampai di puncak. Melihat matahari terbit dari atas gunung adalah pengalaman yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Udara dingin, langit yang mulai berwarna jingga, dan hamparan awan membuat semua rasa lelah lenyap. Ditambah lagi, suasana di gunung sangat hangat karena para pendaki yang ramah. Tiap kali bertemu atau melewati pendaki lain, selalu ada sapaan dan senyuman yang menguatkan semangat.
“Pendakian kedua saya punya cerita unik. Awalnya, saya dan teman-teman berencana ke Gunung Kembang di Wonosobo. Tapi malang, kami nyasar malam-malam jam 10. Salah satu teman saya bahkan sempat melihat hal-hal yang tidak wajar. Akhirnya, kami berhenti di sebuah pasar, dan ada bapak-bapak yang menyarankan untuk melanjutkan pendakian keesokan harinya saja. Beliau bilang, Gunung Kembang masih sepi, jalurnya gelap, dan cukup angker jika didaki malam-malam,” katanya mengisahkan.
Mengingat saran tersebut, ia dan rombingan akhirnya memutuskan mengubah tujuan ke Gunung Prau yang jaraknya tidak terlalu jauh. Meski sempat kecewa karena gagal ke Gunung Kembang, imbuhnya, perjalanan ke Gunung Prau tetap menyenangkan dan penuh pengalaman baru.
“Setelah wisuda nanti, saya ingin mendaki Gunung Merbabu. Salah satu hal yang paling saya tunggu-tunggu adalah melihat savana hijaunya yang terkenal. Lautan awannya juga begitu indah, Masya Allah, siapa yang tidak tergoda untuk melihatnya langsung? Tapi tentunya, saya harus menunggu izin ibu dulu sebelum berangkat,” ucapnya penuh harap.
Laziosi Vatra, mahasiswa semester 3, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Pancasila
“Ketertarikan saya pada pendakian gunung bermula sejak SMA, setelah membaca buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie. Dari situ, kecintaan saya pada alam tumbuh, hingga akhirnya mendaki menjadi salah satu hobi. Kebetulan saya pernah mendaki Gunung Semeru, Sindoro, Prau, dan terbaru Gunung Gede,” ungkapnya kepada wartawan kanal gaul remaja dan anak muda KAMU KUAT! ini.
Mahasiswa ilmu komunikasi dan ketiga temannya itu merencanakan pendakian ini selama berbulan-bulan. Mulai mempersiapkan peralatan seperti tenda, sepatu hiking, dan peralatan memasak. Makanan dan minuman yang cukup juga menjadi prioritas. Dari Malang, menuju Desa Ranu Pani, titik awal pendakian, dengan perjalanan sekitar 2 jam. Di sana, Vatra dan teman teman melakukan pendaftaran, mendapatkan izin pendakian, dan mengumpulkan informasi tentang jalur serta cuaca.
“Setelah beberapa jam, kami tiba di Camp Ranu Kumbolo. Danau yang tenang sulit, curam, dan menguras tenaga. Tapi setiap langkah terasa sepadan, terutama ketika akhirnya kami tiba di puncak tertinggi Pulau Jawa. Melihat lanskap luar biasa dari Mahameru, rasa lelah seolah hilang begitu saja,” bebernya antusias.
Perjalanan turun ke Ranu Pani, lanjutnya, terasa lebih menantang karena jalurnya licin dan curam. Namun, dengan kehati-hatian, ia dan tim berhasil kembali dengan selamat. Meskipun lelah, ada rasa puas yang tidak tergantikan setelah menyelesaikan pendakian.
“Pendakian Gunung Semeru bukan hanya tentang tantangan fisik, tetapi juga perjalanan menemukan kedamaian dalam diri. Persiapan yang matang dan kerja sama dengan teman menjadi kunci keberhasilan. Keindahan Semeru dan rasa bangga setelah mencapai puncaknya adalah pengalaman yang sulit dilupakan—pengalaman yang akan terus saya kenang seumur hidup” tutup Vatra.
Siti Hamidah, mahasiswi, Universitas Terbuka
Siti Hamidah mendaki gunung Sejak tahun 2021. Awalnya keinginan tersebut, kata dia, muncul hanya untuk mencoba hal baru dan mendekatkan diri pada alam. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menemukan bahwa mendaki bukan hanya soal mencapai puncak, tetapi juga tentang pelajaran hidup yang mendalam.
Setiap pendakian, ujarnya, memberikan pengalaman yang berbeda, tak hanya keindahan pemandangan, tetapi juga momen refleksi diri. Mendaki gunung membuat Hamidah lebih mengenal alam, menghargai setiap langkah yang diambil, dan mensyukuri ciptaan Tuhan. Rasanya ada kedamaian yang sulit dijelaskan saat berada di tengah alam yang sunyi namun penuh kehidupan.
“Selain keindahan alam, mendaki gunung juga mengajarkan saya tentang karakter manusia. Di jalur pendakian, kita akan bertemu dengan beragam sifat teman-teman sependakian. Dari mereka yang penyabar, egois, hingga yang selalu siap membantu di saat kita kesulitan. Pengalaman ini membuka mata saya tentang pentingnya kerja sama, saling mendukung, dan menguatkan satu sama lain dalam menghadapi tantangan,” bebernya.
Menurut Hamidah, momen menyaksikan matahari terbit di atas awan, mendengar suara angin di puncak gunung, atau sekadar berbagi cerita di depan api unggun adalah hal yang tak akan ditemukan jika hanya berdiam di rumah. Setiap pendakian meninggalkan cerita, kenangan, dan pelajaran yang terus membuat saya ingin kembali melangkah ke alam bebas.
Mengikuti cerita mereka di atas, hal positif lain dari kegiatan para pecinta alam ini yaitu memiliki keberanian, sabar untuk menunggu, kerendahan hati, dan juga bersyukur atas nikmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Setiap perjalanan memberikan cerita, pelajaran, dan kenangan yang akan terus kita bawa hingga tua.
Mencintai alam berarti menjaga keseimbangannya, menyatu dengan keindahannya, dan memahami bahwa alam adalah rumah bagi semua makhluk hidup, termasuk kita. Menjadi pecinta alam bukan hanya tentang mendaki gunung, menyusuri sungai, atau menikmati keindahan pemandangan, tetapi juga tentang belajar menghargai kehidupan dari setiap sudutnya. (Resty)
Discussion about this post