Avesiar – Jakarta
Pada tulisan sebelumnya, telah dikenal lebih jauh mengenai 3 komponen utama dalam sistem keuangan keluarga/pribadi yaitu Tabungan, Investasi dan Asuransi. Pada umumnya, masyarakat Indonesia baru mengenal Tabungan dan Investasi saja dan sudah lumrah dalam kehidupan ini, mereka selalu menginginkan mendapatkan keuntungan dari setiap sen yang dikeluarkan.
Padahal dalam hakikat kehidupan yang selalu berada dalam keseimbangan, selalu ada pagi dan sore, siang dan malam, untung dan rugi. Dua instrumen keuangan di awal, memang direncanakan untuk mendapatkan hasil nyata setelah beberapa lama. Namun untuk investasi, tidak selamanya selalu untung, terkadang juga mendapatkan kerugian, contoh yang paling segar di ingatan adalah ketika pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia, di mana hampir semua investasi mengalami kerugian.
Asuransi, khususnya Asuransi Jiwa sendiri, dimiliki sebagai komponen untuk berjaga-jaga, sehingga ketika terjadi resiko kehidupan seperti : Meninggal Dunia terlalu cepat, Terkena Sakit Kritis berkepanjangan, Cacat Tetap Total dan Permanen serta Hidup terlalu lama, maka instrumen keuangan Tabungan dan Investasi tidak terganggu, sehingga rencana keuangan keluarga/pribadi dapat terus terlaksana sehingga dinikmati hasilnya.
Dalam disertasi doktor dari Dr. Mohammad Muslehuddin, yang akhirnya menjadi salah satu rujukan utama dari Asuransi Syariah di dunia Islam, menyampaikan bahwasanya asuransi syariah bertujuan untuk mengadakan persiapan dalam menghadapi kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh umat manusia dalam kehidupan mereka. Di mana, asuransi syariah, pada awalnya, terbentuk dari suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan pembiayaan.
Jadi secara sederhana, Asuransi Jiwa Syariah itu adalah ketika sekumpulan orang bersama-sama membentuk suatu dana bersama, dan apabila terjadi resiko kehidupan atas anggota kelompok itu, maka, sejumlah santunan akan dikeluarkan dari dana bersama tersebut.
Sebagaimana yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) bahwa Asuransi Syariah adalah usaha saling tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Selain dengan at-ta’min dan takaful, asuransi syariah dikenal juga dengan nama at-tadhamun yang berarti “solidaritas” atau disebut juga saling menanggung hak/kewajiban yang berbalasan. Ia juga bisa disebut al-isti’had yang berarti permohonan perjanjian, karena nasabah asuransi syariah pada dasarnya dalam prakteknya mengajukan permohonan untuk saling menjamin diantara sesama anggota dengan melalui perantaraan perusahaan asuransi sebagai pengelolanya.
Dan dalam beberapa tahun terakhir ini, OJK juga mensyaratkan bahwa untuk bisa menjual produk asuransi syariah, ia harus berupa perusahaan tersendiri yang terpisah dari perusahaan induknya. Dan hingga detik ini, baru satu perusahaan luar negeri yang memenuhi aturan tersebut. Dan ke depannya, apabila, tidak memiliki perusahaan terpisah, maka OJK melarang mereka untuk menjual produk-produk syariah.
Dalam prakteknya, masyarakat masih banyak mempertanyakan soal syariah ini di asuransi. Padahal kalau dipikirkan dengan baik, produk ini sudah ditinjau oleh suatu lembaga yang berisikan orang cerdik pandai di negeri Indonesia ini, dikaji dengan cermat dan baru dikeluarkan suatu fatwa mengenainya.
Analoginya, umat Islam bisa dengan senang makan di restoran berlabel Halal bukan? Nah, apa bedanya dengan Asuransi Jiwa Syariah yang sudah mendapatkan Fatwa Halal juga dari suatu Dewan Syariah Nasional yang sama?
Dalam bahasan berikutnya, kita akan mencoba mengulas beberapa jenis pengelolaan risiko dalam kehidupan yang pernah ada.
Apabila ada yang ingin didiskusikan mengenai hal ini, silahkan hubungi langsung penulis.
Oleh: Mokhammad Misdianto, M.Sc., Konsultan Keuangan Syariah
Discussion about this post