Avesiar – Puisi dan Cerpen
Kisah Para Terompah yang Lelah (bagian 1)
Oleh: Mas Ngabehi
Di sebuah sudut kota yang nyaris tenggelam oleh deru dan gemerlap modernitas, berdirilah sebuah masjid tua yang seolah-olah enggan menyerah pada zaman. Dinding-dindingnya berselimut cat yang mulai pudar, sementara kubahnya yang kecil dan sederhana memantulkan sisa-sisa keagungan masa lalu. Masjid itu seperti sebuah memoar, menyimpan cerita tentang doa-doa yang tak terhitung jumlahnya, tentang air mata yang pernah tumpah di atas sajadah lusuh, dan tentang hati yang pernah bergetar dalam keheningan.
Di salah satu sudut masjid, berdiri sebuah rak kayu tua. Rak itu sederhana, berwarna cokelat kusam dengan goresan-goresan kecil yang menceritakan betapa seringnya ia disentuh. Di dalam rak tersebut, tersusunlah deretan terompah, masing-masing dengan cerita dan keunikan tersendiri. Ada terompah yang sudah hampir kehilangan bentuknya, dengan tapak yang tipis karena terlalu sering dipakai. Ada pula terompah yang masih tampak baru, kaku dan licin, menunggu giliran untuk menjadi bagian dari perjalanan seseorang.
Namun, siapa sangka, rak kayu dan terompah-terompah itu hidup ketika malam tiba? Ketika lampu masjid dimatikan dan manusia telah pergi, mereka mulai berbicara. Suara mereka lembut, hampir seperti bisikan, seolah-olah takut mengganggu sakralnya tempat itu.
“Aku lelah hari ini,” keluh Si Tua Usang, sebuah terompah berwarna cokelat gelap yang hampir tidak lagi memiliki tapak. “Beban yang aku pikul semakin berat. Orang-orang datang dengan langkah tergesa, kadang menyeretku tanpa peduli.”
“Kita memang diciptakan untuk diinjak,” sahut Terompah Renda, yang warnanya putih namun sudah dipenuhi bercak debu. Suaranya terdengar bijak, meskipun ada nada pasrah di dalamnya. “Bukankah itu tugas kita? Membawa mereka mendekat kepada Tuhan?”
Namun, tidak semua terompah di rak itu sepakat. Ada yang meradang, ada yang sinis, dan ada pula yang diam dalam kegetiran. Mereka semua telah melihat perubahan besar yang terjadi di masjid itu.Dulu, masjid ini adalah tempat di mana manusia datang dengan hati yang tulus. Langkah-langkah mereka ringan, penuh rasa syukur. Terompah-terompah itu mengenang masa-masa ketika rak mereka penuh sesak setiap hari, bahkan di waktu-waktu shalat sunah sekalipun. Mereka ingat, betapa hangatnya suasana ketika suara anak-anak mengaji bergema di ruang utama masjid, dan betapa damainya malam-malam saat orang-orang bersujud dalam keheningan.
Namun kini, suasana itu telah berubah. Masjid lebih sering sepi, kecuali pada hari-hari besar atau ketika ada acara tertentu. Langkah-langkah yang dulu lembut kini terasa tergesa. Orang-orang datang, namun bukan untuk menyepi dalam doa, melainkan untuk mengambil swafoto di sudut-sudut yang tampak estetik. Terompah-terompah itu merasa hanya menjadi alat sementara, yang segera dilupakan begitu manusia kembali kepada kesibukannya.
“Aku tidak mengerti,” kata Si Cokelat Baru, sebuah terompah yang masih tampak mengilap. “Bukankah masjid adalah tempat manusia mendekat kepada Yang Maha Esa? Mengapa mereka lebih sibuk dengan ponsel mereka daripada dengan doa mereka?”
Si Tua Usang menghela napas. “Itulah zaman, anak muda. Dulu, setiap orang yang datang ke sini membawa harapan dan penyesalan. Kini, mereka membawa ambisi dan kebanggaan.”
Malam itu, rak kayu tua itu menjadi saksi bisu dari percakapan panjang yang penuh melankolis. Para terompah saling berbagi cerita, saling menguatkan, dan saling mengingatkan tentang tugas mereka. Meski kecil dan sederhana, mereka merasa memiliki peran besar di dunia ini.
Namun, ada sesuatu yang menghantui mereka. Bukan hanya kelelahan fisik, tetapi juga kelelahan jiwa. Mereka mulai bertanya-tanya, apakah mereka masih berarti? Apakah pengabdian mereka masih memiliki nilai di mata manusia?
Di luar masjid, gemerlap kota tidak pernah tidur. Gedung-gedung pencakar langit berdiri angkuh, seolah-olah mengejek kesederhanaan masjid itu. Jalanan dipenuhi kendaraan, dan suara klakson bersahutan. Namun, di dalam masjid tua itu, rak kayu dan para terompahnya terus memeluk kesunyian. Mereka tidak tahu apakah esok hari akan membawa perubahan, atau hanya akan menjadi pengulangan dari rutinitas yang melelahkan.
Saat fajar hampir tiba, suara azan perlahan memecah keheningan. Para terompah berhenti berbicara, kembali ke posisi diam mereka. Mereka tahu, tidak lama lagi manusia akan datang. Langkah-langkah baru akan menghampiri mereka, membawa cerita-cerita baru, dan mungkin juga beban baru. Namun, di balik kelelahan itu, mereka tetap berharap. Sebab, meskipun kecil dan sering kali dilupakan, mereka tahu bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. (Bersambung ke bagian 2)
Selayang pandang:
Penulis puisi dan cerpen Dr. Sri Satata, M.M, adalah Pegiat Bahasa dan Sastra, serta Dosen.
Ia adalah sosok yang telah mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan dan sastra selama lebih dari dua dekade. Sebagai seorang pendidik sekaligus penulis, ia berhasil membangun reputasi sebagai salah satu figur yang berpengaruh dalam pengembangan literasi di Indonesia.
Sri Satata aka Mas Ngabehi menyelesaikan studi S1 di bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surakarta (1984–1988). Selanjutnya, ia meraih gelar Magister Manajemen dari International Golden Institute (2002–2004) dan menyempurnakan pendidikannya dengan gelar Doktor dalam bidang Manajemen Ilmu Pendidikan di Uninus Bandung (2020–2022).
Discussion about this post