KAMU KUAT – Jakarta
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada situasi di mana berkata jujur terasa sulit. Terkadang, kita memilih untuk mengatakan yang menurut sebagian orang sebagai white lie, kebohongan kecil yang dianggap tidak berbahaya dan bahkan bisa memberikan kebaikan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Menjaga perasaan orang lain dengan tidak berkata jujur tentang yang sebenarnya dan mungkin tidak perlu orang lain tahu, apakah wajar?. Beberapa remaja ini punya ceritanya masing-masing.
Lidia Ramadhani, siswi kelas 12, SMA Ibnu Hajar
![](https://i0.wp.com/www.avesiar.com/assets/2025/02/KAMU-KUAT-AVESIAR-5-FEB-Berbohong-untuk-Menyenangkan-Orang-Baik-atau-Nggak-Ya-Lidia-Ramadhani.jpg?resize=703%2C469&ssl=1)
“Pernah, misalnya kalau orang merasa aku berubah, jadi lebih diam di kelas, mereka suka tanya, “lagi kenapa?”, tapi aku jawabnya “nggak apa-apa”. Karena menurutku nggak semua orang harus tahu aku lagi kenapa. Aku juga takut kalau cerita malah mereka jadi kasihan ke aku,” ungkapnya.
Dalam hal ini, ia merasa bahwa tidak semua emosi atau perasaan perlu dibagikan kepada orang lain, terutama jika itu hanya akan membuat mereka khawatir. Meski begitu, ia juga tetap menghargai teman-temannya yang peduli.
“Pernah juga, misalnya teman dekat bilang, “kalau lagi ada apa-apa jangan dipendam, nanti malah kepikiran dan sakit sendiri.” Kalau hal yang bisa aku ceritakan, ya aku ceritakan,” ucapnya
Dari pandangannya, white lie adalah sesuatu yang boleh dilakukan, asal kebohongannya tidak bersifat negatif. “Karena kalau kebohongannya negatif, pasti akan ketahuan juga,” tambahnya.
Lalu, apakah dengan melakukan white lie seseorang akan merasa bersalah? Tidak selalu. “Kalau ditanya nyesel atau nggak, Alhamdulillah nggak,” katanya dengan yakin. Baginya, yang terpenting dalam hidup adalah menjadi lebih kuat, sehat, dan tidak terlalu memikirkan omongan orang lain.
“Aku nggak mau jadi beban di pikiran sendiri, aku cuma pengen hidup dengan tenang,” tutupnya.
Adinda Salsabila, mahasiswi semester 6, IPB University
“Saya rasa white lie bukan sesuatu yang biasa saya lakukan. Saat berinteraksi dengan orang lain, saya harus selalu menjaga sikap dan menghargai mereka. Ada kalanya saya tidak menyukai seseorang, baik dari kepribadiannya, cara dia berinteraksi, atau tindakannya. Tapi apakah itu harus saya tunjukkan secara terang-terangan? Saya rasa tidak, karena bagaimanapun relasi harus dijaga.” Ujarnya
Menurutnya, menjaga hubungan sosial memang terkadang membutuhkan sedikit “kepura-puraan”. “Orang-orang mungkin menyebutnya poker face atau muka dua. Tapi bagi saya itu wajar dan termasuk white lie yang saya lakukan,” katanya.
Ketika ditanya apakah white lie lebih banyak membawa dampak positif atau negatif, ia menanggapinya dengan bijak.
“Bisa dua-duanya, tergantung dari kebohongan itu sendiri. Kalau dari yang saya lakukan, menurut saya ada dampak positifnya. Tapi tidak menutup kemungkinan menjadi negatif jika ada seseorang yang mengetahui dan tidak setuju dengan tindakan saya,” ujarnya.
Bagi Adinda, segala sesuatu kembali pada perspektif masing-masing dalam menilai apakah suatu kebohongan dapat diterima atau tidak.
Ia juga menegaskan bahwa ada perbedaan besar antara white lie dan kebohongan yang bisa merugikan. Jika melakukan white lie, imbuhnya, kedua belah pihak tidak akan dirugikan, bahkan jika kebohongan itu terungkap. Tapi kebohongan yang berbahaya pasti akan merugikan salah satu pihak. Meskipun pernah melakukan perbuatan tersebut, ia mengaku tidak pernah menyesalinya.
“Sampai saat ini, saya belum pernah menyesal dengan white lie yang saya lakukan,” ujarnya menutup wawancara.
Roro Muti Ardhiona, siswi kelas 12, SMAN 2 Depok
![](https://i0.wp.com/www.avesiar.com/assets/2025/02/KAMU-KUAT-AVESIAR-5-FEB-Berbohong-untuk-Menyenangkan-Orang-Baik-atau-Nggak-Ya-Roro-Muti.jpg?resize=712%2C469&ssl=1)
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan white lie, kebohongan kecil yang dianggap tidak berbahaya. Contohnya, memuji teman yang insecure agar lebih percaya diri, mengatakan sedang di luar untuk menghindari percakapan, atau meyakinkan teman yang terpuruk dengan janji yang belum tentu bisa terwujud, seperti “Kamu pasti bisa masuk PTN!”.
Menurut Muti, white lie masih bisa diterima selama tidak menjadi kebiasaan atau ketergantungan bagi orang lain.
“Kalau sesekali dan dengan pertimbangan, white lie bisa berdampak positif. Tapi kalau terlalu sering sampai mengubah perspektif orang lain, dampaknya bisa negatif,” katanya.
Sebagai contoh, jika seseorang berpakaian berantakan tetapi tetap dipuji rapi, ia mungkin tidak sadar bahwa penampilannya sebenarnya kurang baik dan akhirnya dinilai buruk oleh orang lain.
Di sisi lain, ia menilai kejujuran tetap lebih baik, meskipun terkadang menyakitkan.
“Jujur memang bisa menyakitkan, tapi pasti ada solusi setelahnya. Kalau terus-terusan pakai white lie, itu tidak akan ada akhirnya. Sesuatu justru lebih cepat selesai kalau kita jujur. Dan kalau menyakitkan, kita bisa awali dengan kata maaf,” ujar Muti.
White lie mungkin bisa menjadi cara untuk menghindari konflik dan menjaga perasaan orang lain, tetapi jika digunakan terlalu sering, bisa menyesatkan dan berdampak buruk. Kejujuran, meskipun terkadang menyakitkan, sering kali menjadi solusi terbaik dalam jangka panjang.
Jadi, bagaimanapun kejujuran paling utama walau terkadang menyakitkan, karena kejujuran tetap harus jadi bagian terpenting. (Resty)
Discussion about this post