Avesiar – Puisi dan Cerpen
Kisah Para Terompah yang Lelah (bagian 3)
Oleh: Mas Ngabehi
Para terompah tua mendengarkan jeritan itu dengan perasaan campur aduk. Beberapa merasa kasihan, sementara yang lain diam dengan dingin. Sandal emas terus meratap, suaranya menggetarkan rak kayu yang semakin rapuh.
“Tolong aku! Aku tidak layak diperlakukan seperti ini! Aku mahal, aku berharga!”
Si Tua Usang menghela napas panjang. Dengan suara yang tenang, ia berkata, “Kawan, tenanglah. Kehilangan adalah bagian dari kehidupan.”
“Bagaimana kau bisa berkata begitu?” Sandal emas membalas, suaranya dipenuhi kemarahan. “Kau tidak mengerti apa artinya menjadi berharga! Kau hanyalah terompah tua yang usang dan penuh debu. Aku adalah simbol kemewahan, aku adalah kebanggaan pemilikku.”
Si Tua Usang tersenyum kecil. “Dan apakah kemewahan itu menyelamatkanmu sekarang? Apakah kilauan emasmu membuatmu aman dari tangan yang rakus?”
Sandal emas terdiam. Jeritannya mereda menjadi isak tangis yang pelan. Para terompah tua, meskipun sering dihina oleh sandal emas, merasa iba. Mereka tahu rasa kehilangan itu, rasa tak berdaya saat seseorang mengambil sesuatu yang berharga.
Si Tua Usang melanjutkan dengan suara yang penuh kebijaksanaan. “Kawan, dunia ini tidak selalu adil. Namun, nilai sejati tidak ditentukan oleh apa yang terlihat di luar. Kemewahanmu, kilauanmu, tidak akan bertahan lama tanpa kerendahan hati di dalamnya. Lihatlah kami, terompah tua ini. Kami mungkin lusuh, tetapi kami telah melayani dengan setia selama bertahun-tahun. Kami menerima beban, diinjak, dipakai, tetapi itulah kebahagiaan kami.”
Sandal emas mendengarkan dengan sisa harga diri yang mulai memudar. “Tapi aku… aku adalah simbol status pemilikku. Tanpa aku, mereka akan kehilangan kebanggaan mereka.”
“Itulah masalahnya,” Si Tua Usang menjawab. “Manusia sering kali terlalu sibuk memikirkan penampilan mereka, status mereka, sehingga mereka lupa apa yang benar-benar penting. Sebuah sandal, terompah, atau bahkan manusia sekalipun, nilai sejatinya ada pada pengabdian dan keikhlasan, bukan pada penampilan luar.”
Di sekeliling mereka, para terompah mengangguk setuju. Percakapan ini membawa mereka pada refleksi mendalam. Mereka semua pernah merasakan bagaimana manusia melupakan esensi kehidupan, terlalu sibuk mengejar hal-hal yang bersifat sementara.
Malam itu, masjid kembali sepi. Para terompah berdiskusi tentang apa yang telah terjadi. Mereka merasa bahwa insiden ini adalah pengingat bagi mereka semua, termasuk manusia, tentang betapa rapuhnya hal-hal materi.
“Mungkin,” kata salah satu terompah, “insiden ini akan membuat manusia berpikir ulang tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup mereka.”
Si Tua Usang menutup percakapan dengan pesan terakhir. “Hidup ini adalah tentang melayani dengan ikhlas, menerima dengan rendah hati, dan mengerti bahwa kebahagiaan sejati datang dari apa yang ada di dalam hati, bukan dari apa yang kita kenakan di kaki.”
Para terompah kembali keheningan mereka, sementara sandal emas tetap hilang, menjadi pelajaran pahit tentang kemewahan yang tidak mampu bertahan menghadapi realitas kehidupan.
Malam itu, masjid kembali sunyi. Rak kayu tua yang dipenuhi dengan terompah dan sandal menjadi saksi bisu pergulatan batin yang terjadi di antara mereka. Sandal emas mewah yang sebelumnya penuh keangkuhan kini duduk di sudut rak, membisu. Dalam keheningan itu, ia merenungkan kata-kata Si Tua Usang.
“Aku tidak pernah berpikir bahwa hidup bisa lebih dari sekadar menjadi indah dan mencolok,” gumam sandal emas. “Tapi sekarang aku mengerti. Apa gunanya kemewahan jika itu hanya membawa rasa takut kehilangan?”
Para terompah lain mendengar gumamannya tetapi memilih diam. Mereka tahu bahwa pelajaran terbaik adalah yang datang dari pengalaman sendiri, dan sandal emas tampaknya tengah mengalami hal itu. Si Tua Usang, yang selama ini menjadi suara kebijaksanaan, terlihat lelah. Retakan di tubuhnya semakin lebar, dan warnanya yang kusam tampak semakin pudar.
“Kawan,” Si Tua Usang memulai dengan suara lemah tetapi tetap penuh ketegasan, “hidup ini bukan tentang apa yang kita miliki di luar, tetapi apa yang kita lakukan dengan apa yang ada di dalam kita. Lihatlah dirimu. Kau indah, mahal, dan mewah, tetapi itu tidak membuatmu bahagia. Sebaliknya, kami, terompah tua ini, merasa damai meski diinjak-injak, karena kami tahu tujuan hidup kami: melayani.” (Bersambung ke bagian 4, bagian terakhir)
Selayang pandang:
Penulis puisi dan cerpen Dr. Sri Satata, M.M, adalah Pegiat Bahasa dan Sastra, serta Dosen.
Ia adalah sosok yang telah mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan dan sastra selama lebih dari dua dekade. Sebagai seorang pendidik sekaligus penulis, ia berhasil membangun reputasi sebagai salah satu figur yang berpengaruh dalam pengembangan literasi di Indonesia.
Sri Satata aka Mas Ngabehi menyelesaikan studi S1 di bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surakarta (1984–1988). Selanjutnya, ia meraih gelar Magister Manajemen dari International Golden Institute (2002–2004) dan menyempurnakan pendidikannya dengan gelar Doktor dalam bidang Manajemen Ilmu Pendidikan di Uninus Bandung (2020–2022).
Discussion about this post