KAMU KUAT – Jakarta
Derasnya arus digital dan hiburan instan menjadikan kebiasaan membaca dianggap membosankan, terutama oleh sebagian remaja. Padahal, literasi bukan sekadar soal membaca buku tetapi tentang membuka jendela pengetahuan, memahami dunia, dan membentuk cara berpikir yang kritis dan kreatif.
Dikutip dari laman Media Literasi Sains, Selasa (22/4/2025), literasi adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, memahami, menginterpretasikan, dan menggunakan informasi dengan baik. Literasi melibatkan pemahaman teks, keterampilan berbahasa, berpikir kritis, dan keterampilan komunikasi yang efektif. Ini mencakup kemampuan untuk memperoleh, menganalisis, dan menggunakan informasi dalam berbagai konteks.
Dalam rangka memperingati Hari Buku Sedunia yang jatuh pada 23 April, mari kita dengarkan suara-suara remaja tentang bagaimana mereka memaknai literasi di era sekarang.
Zia Azka Zerlina, siswi kelas 12, SMA Negeri 1 Ciomas, Jawa Barat

Ternyata, literasi bukan sekadar aktivitas wajib di sekolah buat Zia, tapi udah jadi bagian dari kesehariannya.
“Aku biasanya baca novel, atau artikel di Google, dan temanya beda-beda sih, tergantung mood,” ujar Zia.
Genre favoritnya? Fiksi remaja dan slice of life. Tapi nggak cuma baca, Zia juga aktif nulis novel online, lho! Bahkan sekarang dia lagi semangat buat menerbitkan karyanya secara resmi.
Zia cerita kalau dia lebih nyaman baca lewat buku cetak. “Aku termasuk Gen Z yang sering ngandelin HP, jadi kadang mata suka sakit kalau kelamaan main hape. Makanya kalau baca novel, aku lebih pilih buku cetaknya. Lagian, aku juga suka koleksi buku berjejer,” katanya kemudian tertawa.
Salah satu buku favorit Zia berjudul Step Bro karya Anna. Novel yang menurutnya penuh warna, lucu, menyentuh, dan mengangkat tema keluarga yang unik. Lewat tokoh utama bernama Kayla dan sembilan abang tirinya, cerita ini berhasil ngasih pelajaran tentang hidup, cinta, dan makna keluarga. “Meski cuma fiksi, tapi ada nilai-nilai kehidupan yang bisa dipetik,” tambahnya.
Nggak berhenti di situ, Zia juga dapet banyak wawasan dari novel online seperti Zwart, yang menceritakan para cowok jenius dengan keahlian masing-masing dari matematika sampai arkeologi.
“Baca itu bisa ngasih dampak ke otak. Aku sendiri ngerasain banget perbedaan dalam cara nulis, kosa kata, sampai penggunaan tanda baca. Dulu waktu chat-an nggak pernah pakai titik, koma, sekarang udah mulai berubah,” ceritanya kemudian tersenyum.
Menurut Zia, literasi penting banget buat generasi sekarang. Sayangnya, tingkat baca di Indonesia masih tergolong rendah. “Mungkin karena kurang promosi atau kurang menarik aja penyampaiannya. Padahal sekarang banyak banget akun media sosial kayak @gadismagz yang bisa jadi inspirasi,” ujarnya.
Tapi, balik lagi, katanya, semua itu bermula dari diri sendiri. “Kalau kita udah punya niat buat baca, pasti ada jalannya.” ujar zia menutup wawancara.
Nah, dari Zia kita belajar bahwa literasi bukan cuma soal rajin baca buku, tapi tentang membuka diri pada berbagai pengetahuan dan memperbaiki diri lewat kata-kata.
Rafqi Akhtar Pramudya, siswa kelas 11, SMA Muhammadiyah 25 Pamulang

Rafqi dengan jujur mengakui bahwa dirinya termasuk yang kurang suka membaca. “Aku lebih tertarik dengan visual, jadi kalau disuruh pilih, aku lebih milih nonton film daripada baca atau dengerin podcast,” katanya saat ditanya soal kebiasaan membaca.
Buat Rafqi, buku yang dipenuhi teks tanpa gambar seringkali terasa membosankan. Namun, ada pengecualian komik. “Kalau komik, aku masih suka. Soalnya ada gambarnya yang bikin menarik.”
Meski bukan penggemar membaca, Rafqi tetap mengakui manfaat besar dari aktivitas tersebut. “Menurut saya membaca itu manfaatnya banyak sekali,” ujarnya. Baginya, masalahnya bukan pada penting atau tidaknya membaca, tapi pada bagaimana bacaan itu disajikan.
Rafqi melihat perkembangan teknologi sebagai salah satu penyebab menurunnya minat baca di kalangan remaja. “Kebanyakan remaja sekarang lebih milih main game online bareng teman-temannya,” jelasnya. Namun, ia percaya bahwa peran sekolah dan pemerintah sangat diperlukan untuk mengembalikan semangat membaca di kalangan anak muda.
Bagaimana dengan buku online? Rafqi memang belum terlalu familiar, tapi ia menyadari potensinya. “Saya lihat banyak teman di sekolah baca komik lewat HP. Menurut saya itu bisa membantu meningkatkan minat baca, apalagi di era digital kayak sekarang.”
Rafqi membuktikan bahwa literasi nggak melulu soal baca buku tebal. Dengan pendekatan yang lebih visual dan interaktif, remaja seperti dia pun bisa mulai tertarik untuk membaca. Kadang, yang dibutuhkan bukan dorongan besar, tapi bentuk bacaan yang lebih sesuai dengan minat dan gaya hidup mereka.
Fadjar Aryo Seto, siswa kelas 12, Al Amanah Al Bantani

Di tengah era TikTok dan video berdurasi singkat, Fadjar masih menyempatkan diri membaca buku meskipun frekuensinya tak lagi sesering dulu. “Sekarang paling nggak sebulan sekali, atau kalau lagi rajin bisa dua buku,” ujar siswa kelas 12 ini.
Fadjar menyukai bacaan yang cukup beragam, mulai dari novel, artikel, buku pengembangan diri, sampai filsafat dan fiqih. Dulu, ia terbiasa membaca dari buku cetak maupun online, tapi kini lebih sering berburu file PDF dari internet. “Sekarang bacanya online aja, cari-cari di web yang nyediain PDF,” jelasnya.
Latar belakang mondok semasa SMP membuatnya akrab dengan perpustakaan. “Dulu sering baca di perpus, sekarang lebih ke online karena kebiasaan udah berubah juga,” katanya.
Namun, saat ditanya soal minat baca remaja zaman sekarang, Fadjar menjawab dengan jujur dan cukup menohok. “Bisa dibilang minus pake banget. Buat kalkulasi aja, anak muda sekarang baca deskripsi video TikTok aja udah dibilang bagus. Apalagi kalau disuruh baca yang panjang-panjang.”
Menurut Fadjar, peran sekolah atau pemerintah untuk meningkatkan minat baca memang penting, tapi tak selalu efektif. “Kalau dijawab secara formal, ya bisa aja lewat iklan yang ngajak Gen Z buat baca. Tapi jujur aja, semua balik ke diri sendiri. Kalau emang gak ada kesadaran, ya gak bakal jalan,” tegasnya.
Bagi Fadjar, membaca bukan soal paksaan atau ajakan orang lain melainkan soal kebutuhan pribadi. “Baca buku tuh bukan karena disuruh, tapi karena sadar kita butuh. Itu sih menurut aku.” tutup Fadjar
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap remaja punya cara masing-masing dalam menikmati buku bacaan. Ada yang setia pada novel cetak, ada pula yang lebih suka komik digital. Yang terpenting, semangat literasi tetap hidup, meski jalannya berbeda-beda.
Karena sejatinya, literasi bukan tentang seberapa banyak buku yang kita baca, tapi seberapa dalam kita memahami dan tumbuh dari setiap topik yang kita temui di bacaan tersebut. Yuk kita membaca buku! (Resty)
Discussion about this post